===Kuroi Tenshi===


“Lo tuh yang perek!” Geram Naomi marah, tangannya bergerak cepat menyambar rambut panjang seorang gadis berwajah lembut yang lebih muda darinya. Dan jambakan itu membuat gadis yang merupakan juniornya menjerit kesakitan. Sorot mata penuh amarah tampak menguasai keduanya. Sepertinya mereka telah beradu mulut sebelum adegan fighting antar perempuan ini terjadi.



“Lo juga pernah!” balas sang 'adik' yang mempunyai sebutan gadis ombak. Sama seperti Naomi ia tak mau kalah dari seniornya. Dengan amarah yang sama ia balas jambakan Naomi, dan sekarang posisi mereka saling jambak. Tak jarang juga keduanya saling cakar. Bahkan tak peduli suara teriakan Melody yang sedari tadi mencoba menengahi.


“Naomi! Nina! Kalian udah dong!” Melody menjerit melerai keduanya. Tak jarang ia terkena kibasan tangan Naomi dan Nina, membuat Melody yang bertubuh kecil terdorong hampir terjatuh. Tapi sayangnya kedua juniornya itu benar-benar berada dipuncak amarah, mengabaikan Melody yang seharusnya mereka turuti.


Ditempat lain dilorong Apartemen yang disediakan management JKT48 untuk beristirahat para membernya, Veranda berlari-lari kecil membuat rambut wanginya mengayun lembut. Ia berusaha secepat mungkin agar sampai ditempat kedua rekannya terlibat pertengkaran seperti yang dikabarkan Melody.


Setelah keluar dari lift ia menemukan kamar yang tidak asing baginya, kamar dimana Nina Hamidah juniornya istirahat. Tanpa rasa ragu sedikit-pun, Ve membuka kenop pintu dan langsung disuguhi pemandangan yang membuat matanya membulat.


Nina dan Naomi saling menjambak satu sama lain. Tanpa pikir panjang ia menghambur memegangi tangan Nina yang tertancap kuat dirambut Naomi. “Hei! Berhenti, kalian kenapa? Berhenti?!” teriaknya. Ia tarik tubuh Naomi dan menjauhkan dari Nina.


"Dia yang mulai duluan!" geram Nina yang berhasil ditahan Melody.


Naomi berdecih kesal dengan dada terengah dan rambut yang luar biasa berantakan. "Eh setan cilik lo ya!"


"Naomi tahan!" Ve menahan lengan Naomi yang siap menyerang Nina lagi. Pandangannya beralih-alih antara Nina dan Naomi yang masing-masing masih ingin membalas serangan.


“Brengsek lo!” umpat Naomi ke Nina tidak terima.


“Naomi udah dulu," pinta Ve dengan nada lembut, "dengerin aku!” memejamkan matanya frustasi.


“Lo gak tau sih Ve!” Naomi menatap tajam Ve yang masih menahan tangannya. “Lo gak tau apa yang diperbuat perek kecil itu!” tunjuknya ke Nina. Nina membuang muka saat jari telunjuk Naomi menunjuk wajahnya sebagai bentuk penghinaan.


“Iya emang kenapa lagi sih Naomi? Bisa jelasin pelan-pelan kan?” Ve membalas tatapan Naomi memelas.


“Foto Nina ke up Ve,” sahut Melody tampak kecewa.


“Apah?!” dahi Ve mengkerut. Ditatapnya Nina, Melody, dan Naomi sebagai bentuk permintaan penjelasan—lebih. "F-foto lagi?"


Naomi melipat kedua tangannya didada, "Hn?!" memutar bola matanya malas, mengalihkan pandangan jijiknya pada Nina kearah lain. "Foto cupangan dia nyebar diinternet Ve," jawab Naomi dengan nada mengejek. "Hebat kan? Ciihh! padahal masih bayi!"


Ve yang merasa ketinggalan berita penting ini mendengus kecil,menatap Nina tak percaya. Iya sejak semalaman ia bahkan tak sempat membuka twitternya. Pantas saja ia tidak mendengar kabar apa-apa.


“Kenapa Nin?” tanya Ve tersenyum getir. Tapi Nina memalingkan wajahnya meremehkan Ve, “kenapa lo lakuin ini ke JKT48?” wajah Ve memerah. Jujur saja ia sangat marah mengetahui hal ini. Ia masih sangat ingat, baru saja kemarin mereka bicarakan masalah ini bersama, tapi sudah terjadi lagi.


“Kenapa dengan gen tiga?" ia berjalan mendekati Nina dengan kedua tangan yang terkepal. "Apa yang sebenarnya kalian rencanain dibalik berhasilnya kalian masuk ke JKT48?!” suaranya meninggi—tepat ditelinga Nina yang memalingkan muka.


“Ve...” Melody memanggil teman seangktanya itu, mengisyaratkan agar Ve tidak ikut terpancing emosi. Tapi sepertinya Ve sudah tidak tahan lagi.


Namun Ve mengabaikan rekannya itu. “Kami membangun JKT48 dari nol Nin! Kami berjuang berdarah-darah untuk bikin nama JKT48 besar!" mata Ve berkaca-kaca. "Kenapa kalian hancurin?! KALAU KALIAN SERIUS SEHARUSNYA KALIAN IKUT JAGA BUKAN HANCURIN NINA!” Teriak Ve emosi. Sementara Melody, Naomi mematung. Sebelumnya mereka tidak pernah melihat kemarahan Ve meledak seperti itu.


Nina mengangkat wajahnya, membalas tatapan Ve tanpa takut sedikitpun, membuat Ve terkesiap. “Jadi kak Ve nyalahin aku juga?” ia kibaskan kasar tangan Melody yang sedari tadi masih menahannya. “Oke... oke aku ngaku.” Jawab Nina menunjuk dadanya sendiri, tanpa menurunkan tatapan menantangnya untuk Ve.


Sedangkan Naomi tampak tak sabar, "Cih! perek!" hampir saja ia maju mencakar Nina kalau saja Ve tidak merentangkan tangannya menghalangi.


“Aku Cuma pengen terkenal kayak kalian!"


"!"


"Punya banyak fans, dielu-elukan, semuanya teriakin namaku!”


Jawaban dari Nina membuat mata ketiga seniornya bersorot tak percaya. “Menikmati saat semua orang pengen milikin aku," bibirnya terangkat sinis. "Aku suka sensasi-nya! Melihat wota-wota dongo pada ngimpiin bisa macarin aku! padahal mana sudi!"


"Nina!" Melody membentak tak suka.


"Hah! mereka itu gak lebih dari jomblo-jomblo dongo yang cuma bisa diperah duitnya!"


"Lo yang dongo!" geram Naomi, menahan sesak didadanya.


"Hah! udahlah, kenyataannya mereka bego kan! udah jelas-jelas foto pertama gue yang sempet nyebar itu foto sama pacar gue, eehh... dengan polosnya mereka percaya waktu gue bilang temen kecil! bego kan?!" ucapnya remeh, melipat tangannya ke dada—sikap yang sangat meremehkan orang-orang yang harusnya ia hormati.


Ve memijat keningnya yang berdenyut, "Jadi sekarang kamu puas Nin?" ia tatap wajah Nina yang membuat siapapun ingin menyiram wajahnya dengan air keras.


"Puas? tentu saja," dengus Nina mengedikan bahunya. "Bahkan aku sedang tertawa-tawa dipelukan pacarku, sambil baca mention-mention dari wota bego yang keliatan banget terpukulnya. Mereka pasti terguncang kan, mengetahui si gadis ombak ini menerjang dan menghancurkan harapan mereka?" Nina tertawa puas. Mengabaikan tatapan ketiga seniornya yang tak percaya bercampur marah yang teramat sangat.


“Nina! kamu!” hati Ve mencelos mendengar pengakuan Nina, hampir saja ia mengangkat tangannya memukul wajah Nina, tapi ia tarik kembali dan hanya bisa menggengam tangannya kesal. Ini sebuah pukulan yang menyakitkan baginya, jadi rumah yang ia bangun dengan susah payah, kini ditempati parasit seperti Nina? Kalau saja Ve bukan gadis penyabar mungkin dia sudah mencakar-cakar wajah polos Nina yang sudah menipu banyak orang.


“Cih! bener-bener perek lo ya!” Naomi kembali menerjang Nina, menjambak rambut kemudian mengguncang kepala Nina dengan gemas, membuat beberapa helai tercabut dari kulit kepalanya. “Lo pikir lo itu siapa hah?!”


Melody menutup mulutnya terkejut, melihat Naomi lebih brutal dari sebelumnya, “Naomiiiii! Udah Naomi!” dengan sigap dia kembali melerai Naomi dan Nina yang saling menyerang. Sedangkan Ve hanya mematung ditempatnya, menyaksikan kedua rekannya saling menjambak. Lebih tepatnya ia membiarkan rasa yang sama dilampiaskan oleh Naomi.


Otaknya kembali berputar, memutar semua memorinya bersama JKT48 empat tahun yang lalu. Perjuanganya saat audisi.


“Ve bantuin!”


Perjuangannya saat dihina semua orang. Dihina fans Akb48 yang menyebut mereka produk gagal dan mempermalukan nama besar AKB48.


“Veee! Bantuin, tolongin Ve!”


Sampai saat JKT48 berada dipuncak popularitas. Semua menggilai JKT48. Semua meneriakan nama JKT48.


“Ah! Kalian berhenti! Ninaaa!”


Dan kini kerajaan mereka hampir saja runtuh hanya karena kedatangan orang-orang yang salah. Gadis-gadis polos berhati serigala. Cih!


“Pleaaase! Aku mohon berhenti! Ve! Bantuin dong!


Ada berapa banyak member seperti Nina ditubuh JKT48?


“Vee!”


Ve tidak sudi! Semua masalah ini harus diselesaikan. JKT48 tidak boleh hancur, rumah keduanya tidak akan ia biarkan di huni iblis-iblis cantik yang menyamar sebagai dewi-dewi JKT48.


Berhenti! Naomi, Nina!”


Bagaimana dengan buku itu? apa dirinya butuh buku itu?


BRRRAAAAAKKKH!


“Vee... Ouuuch! sakit!”


“Kak Melody?!” Tak peduli, Naomi melepaskan cengkeraman rambutnya pada Nina, tatapannya membulat mendapati Melody terdorong jatuh menghantam keras nakas, tertimpa lampu tidur.


Ia berlari menolong Melody yang merintih kesakitan memegangi kepalanya, “Ve, kak Melody berdarah!” teriak panik Naomi, memegangi tubuh Melody dengan tangan penuh darah dari kepalanya. Sementara Nina membulatkan mata, menutup mulutnya, sadar semua menjadi fatal.


Ve tersentak dari lamunannya ketika melihat Melody berdarah, “Kak Melody?!” Ve menghambur. Ia dapat melihat darah mengucur deras dari kepala Melody. Ia panik saat wajah Melody memucat, matanya tertutup kemudian melemah tak berdaya.


“Kak melody... bangun!” Ve mencoba menggoyang tubuh Melody yang tak sadarkan diri, kemudian mendongak menatap marah Nina yang memasang wajah ketakutan, "Nina lo apa-apaan sih!"


“Maaf kak Ve aku gak sengaja...”


Dan semua itu memicu sisi gelapnya menguasai jiwa sang bidadari tak bersayap.


===Kuroi Tenshi===


“Lucifer, Jehovah elohim. Saya Jessica Veranda minta pertolonganmu—”

Dalam gelapnya malam yang hanya diterangi sinar bulan, sinarnya menyusup melalui kaca jendela kamar Jessica Veranda yang sengaja di buka lebar-lebar. Ve tengah melakukan ritualnya. Ritual pemanggil iblis yang ia percayai dapat menyelesaikan semua kemelut ditubuh JKT48 seperti yang tertulis dalam buku tua itu.


Keputusannya sudah bulat. Sang gadis berwajah malaikat memutuskan untuk menyerahkan diri seutuhnya pada Iblis. Demi JKT48 rumah keduanya. Tempat yang ia cintai melebihi dirinya sendiri.


“—hanya kau lah satu-satunya yang ada dijiwaku, hanya kau yang kusembah—” Kedua matanya terpejam. Dengan jubah serba hitam ia duduk bersila dikelilingi enam buah lilin hitam. Didepannya terdapat sigil diatas kertas yang ia gambar dengan arang kelapa. Ia juga membakar belerang dan kemenyan sebagai pelengkap ritualnya.


Sesaat bulu kuduknya mulai berdiri. Suasana mencekam dan dingin berbeda mulai membelai kulitnya yang halus.


“—aku bersumpah mulai sekarang akan percaya padamu sang cahaya—”


Angin kencang mendadak menerpa. Membuka jendelanya kemudian menghantam dengan kasar menciptakan bunyi yang sempat membuatnya melonjak. Ve ketakutan, ada sedikit rasa ingin berhenti sampai disini.Tapi... keinginannya untuk mengembalikan kejayaan JKT48 lebih besar dari apapun.


“Novus dus, akh.... Isis, Ra, Elohim,” ia pun memutuskan untuk tetap meneruskan mantranya. “Aku serahkan jiwa dan raga, beserta rohku untukmu.” Tutupnya. Tak lupa ia gores jari telunjuknya dengan silet yang darahnya ia teteskan ke arang sebagai langkah terakhir.


Angin terus berhembus kencang dan mulai tak normal, membuat tirai kamarnya berkelebat, api di lilin-lilin hitamnya bergerak—yang anehnya tak membuat api kecil itu juga padam. Seolah angin itu hanya datang dan menerpa dirinya dan seisi kamar tapi tidak dengan lilinnya.


Sinar bulan perlahan juga mulai tertutup oleh awan gelap yang mengakibatkan kamarnya yang hanya diterangi lilin menggelap. Dengan perasaan takut, Ve berdiri menatap jendela yang terbuka dan tertutup dengan sendirinya diikuti kepulan embun tebal menyerupai asap. Tiba-tiba...


DDDHHHUUUAAAARRR!


Jendela kamarnya kembali menghantam keras. Sekali lagi Ve tersentak panik. Detik berikutnya kaki-kakinya terasa lemas, matanya berkunang-kunang dan kepalanya berat, ia hampir pingsan ketika sesosok makhluk aneh muncul berdiri didekat jendela setelah asap dingin mulai menipis, makhluk itu tengah menatapnya dengan sepasang mata yang merah menyala.


Ve membuka mulutnya membentuk huruf 'O' yang besar sebagai ekspresi ketidak percayaan, dadanya berdebar sangat keras, ia ketakutan sekaligus menyesal telah melakukan ritual terkutuk ini.


Untuk pertama kalinya Jessica Veranda Tanumihardja melihat sesosok makhluk halus dengan mata kepalanya sendiri. Ia ingin sekali berlari saat sesosok dengan sayap menyerupai sayap kelelawar berwujud seorang laki-laki bertelanjang dada itu berjalan kearahnya. Tapi sayang sekali, ia tak dapat menggerakan kakinya sedikitpun. Rasanya seperti kiloan batu menahan—menimpa kakinya.


"Si-si-siapa kamu?!" tanyanya terbata-bata saat sosok berbadan tegap itu mendekat. Demi apapun! Veranda menyesal telah mengundangnya!


"Apa yang membuatmu memanggilku?" sosok yang mirip manusia kelelawar itu berbicara. Tubuh tegapnya hanya berjarak satu meter dengan Veranda. Tangannya terulur hampir menyentuh kulit wajah selembut sutra miliknya.


Ve menunduk tak berani menatap wajah sang makhluk dengan mata merah tersebut. Ia tidak mau pingsan membayangkan seramnya makhluk yang dipanggilnya ini. "A-a-aku...a-aku—" ia berniat menjawab, tapi hanya kalimat terbata yang sanggup ia keluarkan.


"Aku tidak suka melihat seseorang memalingkan wajahnya saat sedang bicara padaku," makhluk itu memotong, meraih dagu Ve dengan tangannya yang dingin. Mengangkat wajah Ve untuk menatap wajahnya.


Ve menggigit bibir bawahnya kuat-kuat menahan segala ketakutan di dadanya. Bahkan ia menutup matanya erat-erat saat ia merasa hembusan hawa dingin mengenai wajah cantiknya. Kalau boleh ia tebak itu adalah hembusan nafas makhluk yang sudah dipastikan seram dan jelek.


"Buka matamu, dan hormati tuanmu yang sudah kau undang ini!" suara bariton itu tak membuat Ve menurutinya. Mendengarnya saja ia sangat ketakutan, bagaimana bisa dia menatap wajahnya. "Jangan paksa aku mencongkel matamu. Cepat buka dan tatap aku!" makhluk itu memerintah tak sabaran.


Mendengar ancaman sang iblis mau tak mau Ve memantapkan dirinya untuk menuruti perintah makhluk yang kini tengah menyentuh wajahnya yang lembut. Dengan hati-hati Ve membuka perlahan matanya. Saat itu awan gelap yang menutupi bulan perlahan menghilang. Karnanya saat Ve membuka mata untuk menatap sang iblis yang dipanggilnya, wajah didepannya tampak sangat jelas karena sinar bulan yang menerangi mereka.


Berani bertaruh apapun! tubuh Ve mematung menatap wajah yang kini hanya berjarak satu jengkal dengan wajahnya. Ia membeo tidak percaya bahwa makhluk bersayap menyeramkan itu mempunyai wajah yang sangat tampan seperti pangeran-pangeran di Negeri dongeng.


Garis rahangnya begitu sempurna, lehernya kokoh dan jenjang, tulang bahunya seksi dan bibirnya tipis. Tak lupa kedua sayap itu sangat pas mengembang dibalik punggungnya.


Ve menelan ludahnya, makhluk itu juga mengingatkannya pada salah satu rekannya di JKT48, Shania Junianatha yang mendapat kostum Succubus disingle ke-11 mereka Halloween night. Iya dilihat dari sisi manapun pria ini adalah versi pria dari Succubus. Bisa disebut makhluk itu Incubus?!


Glek


Veranda menelan ludahnya sekali lagi. Matanya tak berkedip meneliti keindahan yang terukir diwajah pria Incubus didepannya. Tapi saat mata mereka bertemu Veranda memalingkan wajahnya lagi. Bagaimanapun mata itu menakutinya.


Sang iblis menaikan salah satu sudut bibirnya melihat Veranda berhenti memandangnya. Ia tatapi wajah cantik didepannya dengan tatapan yang seolah menelanjangi gadis itu bulat-bulat. “Apa yang kau inginkan?” pria itu berbisik mendekatkan wajahnya di telinga Veranda kemudian menjilat daun telinganya pelan. Menimbulkan rasa geli dan ngeri yang menggelitik perut Ve membuatnya berjingkat.


“A-apa yang kamu lakukan?!” Ve menjauhkan tubuhnya beberapa langkah tanpa menatap makhluk bersayap hitam didepannya.


Pria itu masih bertahan dengan wajah tampannya yang dingin. Sekali lagi ia mendekati Veranda yang ketakutan—ia memutari tubuh gadis itu, memandangi tubuh dengan porsi pas milik Ve dari atas kebawah. Tubuh langsing dengan lekukan sempurna, meski jubah kebesarannya itu menghalangi—tubuh indahnya itu tetap membuat makhluk yang dipanggilnya menatapnya 'tertarik'.




Dari ekor matanya, Ve melirik mengikuti kemana tubuh lelaki itu berpindah. Tapi ternyata ia berhenti dibelakang tubuh Ve. Tanpa diminta makhluk itu merengkuh pinggang dan menaruh dagunya dipundak Veranda, membuat sang bidadari menjerit kecil. “Itu bukan jawaban,” namun Ve tak kuasa menolak pelukan yang terkesan protektif dari pria dibelakangnya.


Bulu kuduk Ve meremang. Ia sangat ketakutan, tubuhnya kaku tak bisa digerakan. Bahkan ia tak dapat mencegah pria itu melepas tali jubah dilehernya, membuat kain berwarna hitam itu lepas dari tubuhnya, memperlihatkan dress berpotongan dada rendah tanpa lengan yang juga berwarna hitam. “A-a-apa kkamu b-bisa mengabulkan ke—“


“Apapun yang kau mau,” bariton itu mengalun memotong pertanyaan yang akan dilontarkan Ve, diikuti hembusan nafas dingin disekitar leher dan telinganya. Sukses membuat sang idol yang tidak pernah disentuh pria manapun menggelinjang geli, bahkan saat bibir berikut hidung mancung makhluk itu mulai mengendusi leher jenjangnya, Ve memiringkan lehernya secara otomatis.


Kemudian Ve memejamkan mata, membiarkan sensasi itu menyengat perlahan syarafnya. “Tapi ada imbalan yang harus kau bayar,” bibir dingin itu berhenti diperpotongan leher dan pundak sang bidadari. Ve yang tersadar membuka matanya perlahan.


Ve terdiam. Ia tengah memantapkan hatinya untuk menerima semua resiko dari perjanjian ini. JKT48 sangat penting untuknya, tempatnya belajar segala hal, bukan hanya bernyanyi dan menari. JKT48 adalah rumah keduanya, rumah keluarga beserta sahabat-sahabatnya. Kinal, Haruka, Nabilah, Beby, Naomi dan masih banyak lagi.


“Katakan saja semua keinginanmu, semuanya Angel,” bisik Incubus pelan.


Ve kembali memejamkan matanya, merasakan lengan kokoh itu semakin erat memeluk pinggangnya. Lengan yang dingin tapi entah kenapa terasa begitu hangat.


”Kak Melody kritis Ve!” ia ingat saat Naomi mengatakannya dengan panik saat mereka dirumah sakit.


”Aku gak mau JKT48 bubar, aku gamau kaaak!” ia ingat Nabilah merengek sambil menangis menggengam tangannya penuh harap.


" J. joyfull, K. kawaii, T. try to the best. J.K.T.48 Yeeeaaaa!" yel-yel yang selalu mereka teriakan bersama-sama. Tidak ada wajah bersedih disana. Veranda tidak akan pernah rela teriakan penuh binar semangat itu menghilang.


“Apa yang harus aku lakukan untuk menebus permintaanku?” gagapnya menghilang ditelan perasaan cintanya pada JKT48 dan teman-temannya. Tak disadarinya jawaban dari bibirnya itu membuat sesosok yang tengah memeluknya menyeringai.


“Hm...” pria incubus itu menggumam. Membenamkan wajahnya di leher Ve. “Serahkan dirimu seutuhnya untukku.”


Ve menggigit kembali bibir bawahnya, berharap jawaban yang keluar dari mulutnya tidak akan membuatnya menyesal. “A-aku," ia kembali terdiam menimbang-nimbang. "Aku bersedia menyerahkan diriku untukmu. seutuhnya.” ia menekankan kalimat seutuhnya pada akhir kalimatnya.


Mata merah itu menajam, senyum iblisnya mengembang. Satu lagi manusia jatuh kedalam bujuk rayunya. “Termasuk jiwamu? Hmm?"


“I-iya,”


“Termasuk tubuhmu?”


Glek


Veranda menelan ludahnya ngeri. “Iya!” ia rela. Lagipula sudah terlambat untuk mundur.


“Jadi?” pria itu mendekatkan lagi bibirnya ke telinga Ve—nyaris mengulum daun telinganya. “Ini akan menjadi milikku,” tangan kanannya menjalar naik meremas salah payudara Ve.


“Hhmm...” gadis itu mengigit bibir bawahnya memejamkan mata—mengangguk ragu dengan jantung yang berdegup kencang. Ia juga yakin pria yang saat ini tengah mencoba menjamah tubuh sucinya dapat merasakan debarannya.




Mendadak jantungnya seperti berhenti berdetak, saat ia rasakan tangan yang satunya lagi—milik makhluk itu tengah merambat kebawah dan meremas kepunyaannya yang masih berlapis gaun. “Bahkan ini juga milikku.”


Gigitan dibibirnya menguat, membuat bibir merahnya yang seperti apel meranum itu berdarah. Ia ingin berteriak membatalkan semuanya, tapi langkahnya sudah sejauh ini. Jikalaupun di batalkan semua sia-sia, lagipula siapa yang bisa menjamin iblis ini akan pergi jika ia berhenti sekarang.


“I-ya!” Ve hampir saja menjatuhkan air matanya saat menjawab ‘Iya’ yang berarti mengijinkan makhluk asing itu berkuasa sepenuhnya atas dirinya. Tubuh dan jiwanya.


“Gadis pintar,” seringai lelaki itu melebar sembari memijat lembut payudara digenggamannya, membuat sang gadis mendesah pelan.


Lidah basahnya menyapu seluruh permukaan leher putih Ve, membiarkan desahan tertahan disana. Desahan yang membuat hasrat kelelakiannya naik perlahan.


Salah satu tangan yang sebelumnya digunakan untuk meremas Vagina Ve ia pindahkan ke payudara ber-cup B itu. Kini kedua tangannya bebas meremas dan memijit payudara Ve yang masih tertutup. Tapi tidak bertahan lama pijatan lembut itu berubah sedikit kasar bahkan bongkahan seputih porcelaine yang selalu aman dibalik baju Ve hampir seluruhnya meloncat dari dress berpotongan rendah yang ia kenakan.


"Mmmhh... ssshhh... aaahhh.... " Desahan Ve lepas. Sepertinya ia tak sengaja mengeluarkannya, hanya saja perpaduan lidah yang terus menjilat, menghisap dan menggigit lehernya beserta remasan kuat dititik rangsangnya membuatnya lupa diri.


"Kau cantik," dikecupnya pelan pipi tembam Ve, kemudian ia putar tubuh langsing dengan tali gaun yang sudah melorot dipertengahan lengan itu menghadapnya.


Mereka saling memandang dengan nafas tak teratur, terutama Ve. Gadis itu juga menatap sayu wajah tampan dengan mata memerah didepannya. Tapi tak bertahan lama karena menahan rasa malu ia menunduk. Entah kenapa sifat malu-malunya itu membuat sang iblis menjadi gemas.


"Apa kau selalu malu-malu begitu Jessie?" makhluk itu menyeringai memanggil nama yang khusus hanya untuk Ve. Mengulurkan tangannya kembali mengangkat dagu Ve.


"A-aku..." bola mata Ve bergerak gelisah. Belum selesai ia menyelesaikan kalimatnya, makhluk itu mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir Ve. Tapi dengan berani Ve menghindar membuat ciuman itu hanya mengenai pipinya.


Bukannya marah, pria incubus itu mendengus geli mendapati gadis didepannya ini begitu polos. Veranda adalah satu-satunya wanita yang canggung, sedang kenyataannya mereka akan bercinta. Tidak seperti wanita-wanita lain yang begitu antusias saat mengetahui akan bercinta dengan makhluk setampan dirinya.


"Apa aku kurang tampan, he?" pria itu berbisik menggoda, "sampai-sampai kau menolakku. Jujur saja aku merasa tersinggung."


Veranda mengangkat wajahnya, cepat-cepat segera mengoreksi bahwa ia tidak bermaksud seperti itu. "B-bukan!" ia dapati sosok tampan didepannya tengah menatapnya tajam dengan mata yang menyeramkan meski tak mengurangi pesonanya.


"Ha-hanya saja," Ve menelan ludahnya sebelum menyelesaikan kalimatnya, "bi-bisakah kau hilangkan sayap anehmu itu!" cicit Veranda—jelas mengada-ada membuat sang iblis mengerutkan keningnya.


Sadar kalimatnya barusan bisa saja menyinggung sang iblis, Veranda kembali menunduk merutuki dirinya sendiri yang begitu bodoh, demi apapun dia bukan manusia. Apakah baru saja dirinya menghina Iblis?


"Sayap aneh katamu?"


"Ma-maksudku, tidak bisakah kau mengubah penampilanmu seperti manusia?" jelasnya, "a-aku tidak bermaksud... a-aku hanya tidak terbiasa dengan..."


Sang iblis menghela nafas. Mata merahnya bergerak memindai, berusaha menemukan bentuk seperti keinginan gadis yang telah menjadi pengikutnya ini. Matanya berhenti pada poster besar didekat meja rias Veranda. Disana terdapat poster aktor Jepang bernama Kamenashi kazuya sedang berpose memamerkan tubuh atletis dan maskulin.


Sang iblis tersenyum dengan wajah sombongnya. Sebenarnya ia tidak sudi meniru penampilan manusia yang menurutnya adalah makhluk rendahan. Tapi demi permintaan kecil sang bidadari, ia memutuskan untuk perpakaian seperti pria itu. Dada telanjang dengan jeans belel, tidak terlalu buruk he?


"Hei?" sekali lagi tangan kotornya menyentuh dagu Veranda, mengangkatnya untuk ia pandangi wajah cantiknya.


Ve terperangah mendapati pria incubus itu telah berubah tanpa sayapnya. Matanya juga menghitam seperti mata manusia biasa, tapi ketampanannya tetap tak tertandingi lelaki manapun. Ia pernah mendengar bahwa bangsa Succubus memang mempunyai wajah yang rupawan, saat itu ia tidak pernah lagi memikirkannya, tapi saat ini didepannya— ia benar-benar membuktikan sendiri bahwa mereka memang sangat rupawan.


Ditengah kegagumannya pada sang pria, Veranda tidak sadar ada sepasang tangan tengah berusaha meloloskan gaun yang ia pakai dari tubuhnya. Hanya dengan gerakan menarik kebawah, pakaian tipis itu dengan mudah melorot jatuh kebawah. Menyisakan sepasang celana dalam dan bra yang tidak sempurna menutup payudara yang sudah diremasi oleh makhluk tampan didepannya.


Iblis itu mendekati wajah Veranda. Mengeliminasi jarak antara mereka berdua, membuat kedua bibir makhluk beda dunia itu saling menyentuh, menekan, kemudian mengecup perlahan.


"Mmmmhh..." Ve mengerang pelan merasakan saat daging lunak memaksa menerobos masuk kedalam mulutnya. Ia sempat membelalakan mata saat lidah kasar itu mengajak lidahnya saling membelit dan menjilat. Tapi dia gadis yang cukup pintar untuk cepat mengerti bagaimana membalas permainan ini.


Tangan kanan lelaki itu tak tinggal diam, ia gerakan tangannya naik ke payudara Veranda. Ketika ia meremasnya bra hitam itu sedikit mengganggunya, dengan jari ajaibnya pria itu memutus tali-tali bra itu dan membuat kudua bukit menggoda Veranda terbebas.


“Mmmnnnh...” lenguh Veranda tertahan merasakan ibu jari dan telunjuk Incubus memilin lembut putingnya. Sedangkan lidah sang incubus masih terus menginvasi rongga mulut Veranda. Menghisap lidahnya, menggigit bibir tipisnya dan menyapu satu persatu gigi dirongga mulut Veranda.


10 menit bukan waktu yang sebentar bagi Veranda yang amatir dalam hal ini. Ia lepaskan bibirnya dari lelaki itu, menciptakan benang-benang saliva yang memanjang kemudian terputus saat Ve mendorong dada bidang incubus menjauh untuk sekedar menghirup nafas.


Pria itu menatap Ve penuh arti, ia biarkan Ve mengambil nafas sepuas-puasnya sambil terus meremas kedua dada tak berpenghalang milik Ve. Kemudian diciumnya pelan bibir Ve yang masih basah karena ulahnya.


"Mmmh..."


Ve memberanikan diri menatap wajah tampan yang kini menatapnya. Ia ulurkan tangan kanannya untuk membelai pipi sang incubus yang terasa begitu dingin. "Siapa namamu?" desah Ve menahan geli diperutnya, karena jemari-jemari besar itu terus memilin kedua putingnya.


"Hn," pria itu mendengus menanggapi Ve. Alih-alih menjawab ia malah merendahkan tubuhnya, memposisikan wajahnya didepan kedua payudara yang tengah dipijatnya pelan.


"Slllrrup," lidahnya menyapu salah satu puting kemerahan Ve, membuat benda kecil yang sudah mengeras itu bergerak pelan mengikuti arah sapuan. Terlihat begitu menggemaskan.


"Aaah!" Ve kembali melenguh saat makhluk itu menjilati bulatan mungil berwarna pink kemerahan miliknya bergantian. Ve hanya terus mendesah-desah, menyusupkan sela jemarinya dirambut lelaki itu, meremasi rambut cokelat prianya. Ini benar-banar sensasi yang menakjubkan bagi Ve.


Incubus itu melepaskan kuluman pada payudara Ve, kembali menegakan dirinya yang lebih tinggi dari Ve lalu mengulum telinga sang bidadari dan berbisik pelan, "kau boleh memanggilku Graphel."




Belum sempat menjawab lagi. Graphel mendorong—membawa tubuh Ve, merebahkannya ditempat tidur, membuat Ve memekik pelan. Ia pandangi tubuh setengah telanjang Ve dengan matanya yang menggelap. Gadis cantik terbaring diatas kasur, dengan kedua puting yang basah mengkilap karena liurnya. Ketiaknya yang putih mulus tak jauh beda dengan wajahnya. Bulu-bulu halus disekitar perut yang mengarah ke Vagina yang masih tertutup celana dalam hitam. Ini adalah surga bagi iblis sepertinya.


“G-graphel bi-bisakah kau bberhenti menatapku seperti i-itu?” pinta Ve terbata, menyilangkan kedua tangannya dan memalingkan wajah merahnya menghindari tatapan Graphel yang membuatnya sedikit...eerrr... bernafsu.


“Hn!” Ia mendengus—menaikan salah satu sudut bibirnya mendengar permintaan Ve yang baginya benar-benar amatir. Tak tahan memandangi pemandangan yang membuat penisnya menegang, Graphel memutuskan untuk melepas satu kain penutup yang tertinggal ditubuh Veranda. “Bagaimana aku bisa melakukannya tanpa menatapmu?” kain tipis itu ia turunkan perlahan membuat Ve tersentak namun tetap tak bergeming.


“Jessie....” Ia sentuh permukaan berbulu halus Ve perlahan, sembari meloloskan celana dalam berukuran mini melalui kedua kaki Veranda yang jenjang. Ia juga menarik tubuhnya kebawah untuk membuat wajahnya berada tepat didepan kewanitaan Ve.


"Graphel..." desah Ve merasakan hembusan nafas Graphel mengenai permukaan vaginanya. Tangannya meraih kepala cokelat pemuda itu, berniat menjauhkannya dari sana, karena ini sangat-sangat memalukan untuk Ve, membiarkan lelaki yang sama sekali tak ia kenal memandang—menyentuh bagian pribadinya.


Sedangkan Graphel menyeringai—mengabaikan, malahan tangannya bergerak membuka paha Ve lebar-lebar membentuk huruf W. Tatapannya berbinar jatuh pada segumpal daging berwarna merah merekah, basah mengkilat-kilat. "Aku suka ini jessie,"


"Mmmhh... graphel...aaahh..." tubuh Veranda menegang saat daging lunak kasar itu menyapu Vagina dalamnya, berikut klitoris mungil yang membesar.


"Mmm...bagaimana rasanya Jessie?" godanya pelan, disela-sela gerakan lincah lidahnya mengoral kewanitaan Idola ibu kota ini. Tangan kirinya tak tinggal diam, ia meraih payudara Ve dan memijitnya pelan, menambah sengatan listrik pada tubuh yang tak pernah tersentuh lelaki manapun itu semakin kuat.


“Nh... Graphel...” kewanitaan Veranda terus-menerus mengeluarkan cairan dan hal itu membuat Graphel suka, membuatnya semakin bersemangat menjilati, mencucup, kemudian menelan cairan Veranda. Tangan yang sedari tadi hanya memegangi kepala Graphel berubah meremas rambut kecokelatan milik pemuda incubus, menyalurkan segala perasaan yang menyerangnya.


“Ahnn... kau sangat basah disini, Jessie,” lanjut Graphel menggerakan tangan kanannya menyentuh permukaan basah Vagina Veranda, “buka kakimu lebih lebar, aku ingin melihatnya lebih jelas,” perintah Graphel.


“Mmmmh... cukup Graphel,” tolak Ve mengatupkan kedua pahanya malu. Tapi itu akan sulit baginya jika masih ada tangan Iblis yang menahannya.


“Aku katakan sekali lagi. Buka kakimu lebih lebar,”


“....”


"Ck!" merasa tidak ada jawaban dari Ve, lelaki itu terpaksa harus melakukannya sendiri. Ia rentangkan kedua paha mulus Ve keatas, tak peduli hal itu membuat sang bidadari merintih kesakitan. “Begini lebih baik, aku bisa memberikanmu. lebih.” Kalimat itu adalah yang terakhir sebelum ia kembali menjilati kewanitaan Veranda dengan rakus. Bahkan jemarinya kini ikut andil dengan mengocok lubang basah milik Ve.


Desahan dan suara berdecak lidah yang penuh cairan kewanitaan Ve mendominasi ruangan gelap itu. Sang bidadari sudah takluk oleh sang iblis dengan wajah rupawannya. Bahkan tubuhnya sudah mengejang hebat akibat jilatan dan tusukan kedua jari Graphel. Sebentar lagi—entah apa itu, sesuatu akan keluar dari perut bawah Veranda. Tapi tiba-tiba Graphel menghentikan gerakannya, membuat sang bidadari kecewa—entahlah seharusnya ia lega karena Graphel berhenti menyentuhnya tapi ia merasa tidak rela.


“Graphel...” desahnya, menatap tubuh tegap itu dengan tatapan ‘seharusnya jangan berhenti sekarang’.


“Hm?” Graphel tersenyum memposisikan tubuhnya menindih tubuh polos Ve dengan keringat yang mengkilat. Kedua tangan kekarnya masing-masing berada disamping kepala Ve, mengukungnya. Dapat ia cium aroma maskulin dari pria tampan yang kini menatapnya penuh arti, “kau sangat cantik Jessie,” puji Graphel membuat wajah Ve memanas. Demi menyembunyikan wajah merahnya dari Graphel, Ve memilih untuk mengalungkan kedua tangannya ke kepala Graphel kemudian menariknya.


Ciuman mereka kembali bertemu. Lidah dengan lidah yang membelit satu sama lain. Ditengah ciuman mereka yang panas Ve mendengar suara resleting terbuka. Ini saatnya ia membatin khawatir. Bagaimanapun ini adalah pertama kali untuknya, ia tidak terlalu yakin apakah ia bisa melewati semua dengan lancar—terlebih ia akan melakukannya dengan makhluk asing yang bukan manusia.


Graphel menghentikan ciumannya, membuat jaring-jaring liurnya kembali menetes dimulut Veranda. Ia berdiri untuk menurunkan celana jeans belelnya tanpa membuang sedikitpun tatapannya pada gadis yang kini terbaring pasrah menunggunya menyelesaikan permainan yang mereka mulai.


Mata Ve membulat melihat kejantanan Graphel terbebas menegang sempurna. Dan yang lebih mengejutkannya lagi besar dari penis Graphel sangat tidak masuk akal. Penis itu sebesar tangannya. Setahunya besar penis normal sekitar 12cm bagaimana bisa jika benda yang memiliki ukuran dua kali lipat—tidak bahkan lebih itu bisa memasukinya. “G-ggraphel, a-aku yakin itu tidak akan muat,” cicit Veranda saat Graphel memposisikan penisnya tepat dilubang kewanitaan Ve.


Tanpa memperdulikan kekhawatiran Veranda, perlahan Graphel menyapukan kepala penisnya dilipatan basah milik Ve, membiarkan gadis itu mendesah gelisah. Jujur saja Ve merasa melayang saat kepala penis yang mirip jamur itu menggesek klitoris dan lubangnya yang terus menteskan bermili-mili cairan. Tapi perasaan ngerinya saat membayangkan benda sebesar itu memasuki lubang Vaginanya yang sempit membuat Ve memutar otak untuk menghentikan gerakan Graphel.


Tatapan penuh nafsu Graphel menajam saat ia menekan lubang Veranda dengan hati-hati. Ia tahu meskipun ia seorang iblis Graphel tidak akan membuat mangsanya kesakitan—terlebih gadis itu sangat cantik—menyerupai dewi-dewi surga yang pernah ditemuinya.


“Mmmnnhh!” kening Veranda mengernyit. Vaginanya terasa perih saat benda itu mulai menekan memasukinya. Ini tidak bisa dibiarkan! Ve harus menghentikannya—setidaknya menunda.


“Berhenti Graphel!” teriaknya tegas. Dadanya berdetak begitu keras saat melihat Graphel menatapnya tak suka, ia akan mati kalau sampai makhluk itu benar-benar marah padanya. Tapi mendadak ia menemukan satu ide, ia tak yakin tapi bisa ia coba.


“B-biarkan aku j-juga menyentuhmu G-graphel,” Ve bangun membenarkan posisinya duduk ditepi ranjang. Kakinya menjuntai menyentuh lantai yang terasa begitu dingin. Graphel masih menatapnya tajam, menunggu apa yang akan Veranda lakukan. Namun tak lama kemudian ia membuktikan kata-katanya.


Veranda meraih batang penis besar dan keras milik Graphel. Ia pandangi bergantian antara penis dan wajah Graphel yang sedikit mengernyit. "I-i-ini be-besar sekali," kata Ve. Dan Graphel hanya menaikan salah satu sudut bibirnya bangga. Apa dia baru saja dipuji, he?


“A-aku tidak bberpengalaman soal ini—ta-tapi aku akan mencoba.” Seperti yang dikatakannya, hanya dengan bermodalkan cerita dan sekilas ia pernah dengan tidak sengaja memergoki Jeje rekan se-timnya sedang menonton video porno Ve menjulurkan lidahnya menyentuh kepala penis Graphel.


Tatapan Graphel pada Ve menggelap sesaat lidah basah gadis itu bergerak menjilati batang penisnya yang sudah menegang. Graphel ingin menolak, ia adalah makhluk terhormat. Ia adalah pejantan, dimana memuaskan wanita adalah kebanggaannya. Tapi gadis itu keras kepala, ia semakin liar menjilati penis Graphel. Meski seperti yang Ve katakan, ia tidak berpengalaman tapi gerakan sederhana itu mampu membuat Graphel menahan nafasnya—tidak akan mendesah. “Jessie...”


Ve melirik keatas tanpa melepaskan tangan lembut dan lidah hangatnya dari penis Graphel. Pandangan mereka saling bertemu. Mata Graphel lebih gelap dari sebelumnya, dan Ve yang menatapnya sayu—pemandangan yang bagi mereka masing-masing meningkatkan...errr...gairah keduanya. Tak beda dari Ve, gadis itu menerima sinyal bahwa Graphel menyukai perbuatannya maka ia memberikan servis tambahan dengan memasukan batang penis itu ke mulutnya—meski harus membuka mulutnya lebar-lebar, meski penis itu hanya muat seperempatnya saja.


“Jessie..!” wajah Graphel memerah, mati-matian ia menahan dirinya untuk tidak mendesah. Apalagi saat Veranda dengan lembut memaju-mundurkan kepalanya membuat penisnya yang besar keluar-masuk dari bibir seksi sang idol. Pipinya yang tembam kadang mengembung dan menirus karena gerakan itu sekaligus menghisap penisnya.


Tanpa disadari Graphel tangannya bergerak menahan kepala Ve agar tak menjauh dan terus memanjakan miliknya. Ve menurut, bahkan ia mulai menikmati kegiatan ini, kegiatan yang membuat Vagina miliknya berkedut-kedut, gatal, basah menyiksa dirinya. Ia tak tahan dan membuang rasa malunya kemudian mengarahkan tangan kirinya keselakangannya sendiri, membuka lebar pahanya dan menggosok klitorisnya sendiri.


Pemandangan itu tertangkap mata iblis Graphel. Pemuda berwajah stoic itu mengumpat dalam hati menyaksikan pemandangan yang sangat erotis didepannya. Tapi lagi-lagi ia menahan desahannya. Bahkan dalam kaeadaan seperti inipun dia masih mempertahankan pridenya ketika lidah basah Ve menggelitik lubang penis yang sudah mengeluarkan cairan precum dengan rasa asin. “Jessie...”


“Ummh...” Ve mengeluarkan penis Graphel dari mulutnya. Dia mulai berpindah menghisap salah satu bola testis Graphel sedangkan tangan kirinya masih sibuk menggosok Vaginanya sendiri membuat bertetes-tetes cairan itu membasahi sprei putihnya.


Graphel menatap Ve bergantian antara wajah yang sangat menggoda saat mengoralnya, kemudian berpindah ke tangan Ve yang kini mulai memasukan satu jari kelubangnya. Sial! dilihat dari sisi manapun Veranda tampak begitu menggoda. Dan Graphel menginkan lebih dari ini.


Fuck! hisap lebih kuat Jessie! Aku ingin lebih! Lebih ku-at!” Graphel memerintah dengan nafas berat. Ve yang sudah terlanjur basah terpaksa menuruti. Entahlah bagaimana caranya—instingnya membuatnya menjilati, menghisap testis Graphel secara bergantian. Mati-matian sang Incubus menahan diri untuk tidak dikalahkan gadis amatir ini, tapi sepertinya ia harus mengalah. Jilatan dan hisapan Veranda pada penisnya membuat jiwanya melayang seperti berada didalam surga yang ia rindukan, bahkan ia lupa bahwa dirinya adalah iblis.


“Aaaaahh...Jessie...” Graphel mengerang, desahan yang ia tahan akhirnya keluar. Ia yang sudah diambang batas memegangi kepala Veranda dan menggerakannya secara paksa. Beberapa kali Ve terlihat tersiksa dan tidak nyaman dengan pengambil alihan permainan secara paksa ditangan Graphel. Tapi beberapa detik kemudian, Graphel menyemburkan cairannya ke dalam mulut dan wajah Veranda.


“Ummh...uhuk! Graphel,” Ve tersedak oleh beberapa mili cairan sperma Graphel yang langsung mengenai kerongkongannya. Setitik airmata bening tampak tertinggal disudut mata Veranda. Ia tidak terbiasa dengan ini, menelan sperma seorang laki-laki terasa begitu menyiksa. Dengan tangannya, Ve membersihkan cairan yang mengenai wajahnya.


Graphel masih terengah, dengan kedua onyxnya yang tajam ia menjelajahi tubuh telanjang Veranda. Mata segelap malamnya itu berhenti dilipatan paha Veranda, membuat penisnya kembali ereksi. Graphel tidak tahan lagi untuk segera memasuki Jessienya, memacu tubuhnya diatas tubuh sintal menggoda itu. Sepuasnya—sesukanya.


Fuck!” Graphel mendorong tak sabar tubuh Veranda, membuat gadis itu memekik. Tapi tak lama setelahnya bibir mereka kembali bertemu. Tangan Graphel membelai paha mulus Veranda sekaligus melebarkannya. “Kau siap?”


Ve memejamkankan matanya. Ia sadar kali ini tidak bisa lagi menghindar dari cengkeraman makhluk asing yang sudah berani menjamah tubuhnya sejauh ini. Tapi bukankah setelah ini semua akan kembali berjalan normal? JKT48 akan baik-baik saja. Teman-temannya akan bahagia, Melody akan sembuh. Ve membuka matanya perlahan, diatasnya Graphel sedang menungguinya untuk memasukan penis mengerikan itu kedalam tubuhnya.


Tapi semua harus segera diselesaikan. “Mmmm...” Ve tersenyum lembut, tangannya menyentuh garis rahang sempurna Graphel kemudian berkata, “masuki aku seperti yang kau inginkan, tuanku. Me-meski aku tidak yakin akan mu-muat.”

Graphel menyeringai mendengar jawaban Veranda. Ia mengerti gadis didepannya ini khawatir, “Aku akan melakukannya pelan-pelan,” ia kecup kening Veranda, turun ke hidung kemudian berhenti dibibir yang beraroma bubblegum. Ciuman itu hanya menempel tapi dibawah sana tangan sang iblis tengah berusaha menguak vagina Veranda untuk memudahkan penisnya memasuki Vagina Ve.


Tangan Ve melingkar erat dileher kokoh Graphel sebagai bentuk rasa khawatir. Namun ia percaya Graphel tidak akan melukainya, ia membiarkan kejantanan Graphel perlahan memasukinya meski terasa sangat perih, panas dan begitu penuh. “Mmmnnnhh...ssshh!” ia mengernyit menahan rasa yang bercampur aduk itu.


“Apa aku harus berhenti?” bisik Graphel tepat dilubang telinga Ve—sembari menjilatnya. Tapi Ve menggeleng.


“Cepat selesaikan,”


“Baiklah, ini akan sedikit terasa sakit.”


“Mmmm....”


Graphel kembali menekan penisnya ke lubang vagina Ve. Kali ini ia menatap lembut gadis dibawahnya yang sedang bergerak gelisah sambil menggigit bibir bawahnya. Ada rasa sayang setiap menatap wajah itu, tidak bahkan Graphel tidak mengenal apa itu sayang. Itu hanya sebatas perasaan tertarik. “Mmmhh... Graphel,” desahannya terus mengalun bagai sihir yang membuat sang iblis bersemangat melesakan kejantananya dengan sempurna.



“Aaaahh!” Ve menjerit kecil merasakan vagina miliknya terasa penuh. Sangat penuh dengan penis sebesar itu.


“Hm... sakit?” Graphel menyibak rambut Ve dan menyilakannya kebelakang. Mengusap keringat yang membasahi kening Ve. “Aku mencintaimu, Jessie...” ia menciumnya dengan penuh perasaan.


Kalimat Graphel membuat Ve merinding sekaligus tersanjung. Ia merinding bagaimana jadinya jika seorang iblis jatuh cinta padanya, ia juga tersanjung bisa membuat iblis sepertinya jatuh cinta. “Mmmh... Graphel,”


“Teruslah memanggil namaku, aku akan mengabulkan semua keinginanmu Jessie...” dan Graphel mulai menggerakan tubuhnya—memompa kejantanannya, mengaduk-aduk vagina Veranda yang tengah dimasukinya.


Ve tersenyum. Memandangi wajah maskulin yang tengah bergerak menyetubuhinya. Rasanya memang sakit, tapi disana terselip rasa nikmat yang entah kenapa Veranda masih ingin terus menikmatinya. “Graphel... aah..aakuu...mmh... aku ingin membunuh seseorang. Tidak, tapi banyak orang,”


“Hm?” Graphel mendengus. Membenamkan wajahnya dileher Veranda, “siapa yang ingin kau bunuh?”lanjutnya sembari menghisap dalam-dalam leher Veranda. Membuat kiss mark yang berwarna kontras dengan leher sang gadis.


Ve menggigit bibirnya lagi. Penis graphel benar-benar membuatnya sesak napas, ia merasa sebentar lagi lubangnya itu akan longgar setelah ini. tapi siapa peduli, Graphel membuat Ve benar-benar melayang. Belum lagi mulut Graphel yang kini sudah menjilat-jilat putingnya lagi dengan rakus dan sedkit kasar. “B-buat mereka mati! Mmhh! Semua yang...oouh! Graphel!” Ve tidak bisa melanjutkan kalimatnya ketika Graphel menggigit salah satu puting Ve. Bicara ditengah penyatuan ini terasa sulit untuk itu Ve memutuskan untuk menikmatinya saja dan menunda pembicaraannya dengan Graphel.


“Jessie... aku hampir sampai...” bisik Graphel pelan, tapi pinggulnya bergerak lebih kasar dari sebelumnya. Ia akan kembali mengeluarkan benihnya, kali ini kedalam rahim sang bidadari.


Sama seperti Graphel, kali ini siapapun tidak ada yang boleh menunda orgasmenya. Termasuk Graphel. Ve tidak akan membiarkan kedua kalinya makhluk itu mengerjainya, untuk itu ia memeluk pinggang Graphel—menjepit erat-erat pinggang itu dengan kakinya dan membuat batang penis tak normal milik Graphel menancap dalam-dalam. Dan dalam satu hentakan kuat keduanya mengejan, kemudian terasa seperti terlempar jauh ke angkasa saat cairan cinta itu terlepas dari tubuh mereka.


“Aaaahh... Graphel...”cengeraman tangannya pada leher Graphel mengendur. Dapat ia rasakan cairan panas yang mengisi rahimnya perlahan meleleh keluar membasahi spreinya diikuti keluarnya batang besar yang menyumpal vaginanya.


“Ini luar biasa Jessie, kau sangat sempit dan membuatku gila,” Graphel mengecupi wajah Veranda. Sedangkan gadisnya itu masih tergeletak lemas sambil tersenyum menormalkan nafasnya.