Aku berjalan menyusuri jalanan Jakarta yang begitu padat pengendara motor ataupun mobil. Aku sedang memikirkan apa yang tengah terjadi kepadaku tepat setelah wanita menyeramkan itu mengambil keperjakaanku. Harusnya aku masih berada di kampung, dan biasanya setiap pagi Ayah selalu membangunkanku untuk sekolah. Dan entah bagaimana caranya, aku sudah berada di Jakarta sekarang. Aku mencoba mengingatnya lagi secara perlahan, tapi aku tetap tak bisa menemukan jawabannya dari apa terjadi setelah aku tak sadarkan diri saat wanita menyeramkan itu memperkosaku. Aku benar-benar tak mengingat apapun selain kejadian menakutkan tersebut.
Dan anehnya lagi, bahkan sekarang aku bertanya pada diriku sendiri. Apakah ini aku? Kenapa tiba-tiba aku sudah berada di Jakarta, dan lagi kenapa pula tiba-tiba aku memiliki sebuah telpon genggam. Aku juga memakai pakaian orang dewasa, terlihat rapi. Selain itu aku juga merasa tubuhku semakin tinggi. Dan dari semua kejadian aneh tersebut. Selembar kertas yang ada di saku kemejaku adalah hal yang paling aneh. Seperti sebuah petunjuk untukku.
Kau adalah si rambut kuning yang lain. Malam itu, saat hujan reda. Purnama muncul dan membawamu masuk ke dimensi lain. Kau akan mendengar suara musik masa depan. Itu tak akan membuatmu berubah.
Bulan kesepuluh adalah dirimu. Aku memilihmu karena kau adalah orang yang tepat. Nanti, saat malam-malam disana memandumu berjalan. Kau akan bertemu dengan tiga bulan lain yang menghampirimu. Dan kau harus memilih satu diantaranya.
Saat bulan kesepuluh memasuki akhir. Sebuah peluru akan menembus jantungmu. Rambut kuningmu berubah jadi merah. Dan kau akan tahu, siapa yang akan menangisi kepergianmu.
Bulan kesepuluh adalah dirimu. Aku memilihmu karena kau adalah orang yang tepat. Nanti, saat malam-malam disana memandumu berjalan. Kau akan bertemu dengan tiga bulan lain yang menghampirimu. Dan kau harus memilih satu diantaranya.
Saat bulan kesepuluh memasuki akhir. Sebuah peluru akan menembus jantungmu. Rambut kuningmu berubah jadi merah. Dan kau akan tahu, siapa yang akan menangisi kepergianmu.
Tiga Paragraf yang tiap kubaca tetap tak bisa kutangkap maknanya. Aku tahu itu untukku, tapi apa kalian bisa membantuku? Tidak. Ini sebuah misteri yang sepertinya harus kupecahkan sendiri. Dan sepertinya, satu baris kata yang bisa kutangkap maksudnya adalah tentang peluru yang menembus jantungku. Ya, aku akan mati. Entah kapan dan dimana.
Apa aku mati dan terlantar sendirian disini? Bagaimana kabar Ayahku. Maaf sebelumnya karena aku kesal denganmu.
Aku terus berjalan dan terus memikirkan semua hal yang terjadi denganku. Bahkan aku sendiri tak tahu akan melangkah kemana. Kaki ini seperti berjalan dengan sendirinya, menuntunku entah kemana. Aku saja buta dengan keadaan baru ini, yang aku tahu ini adalah Jakarta. Entah Jakarta mana, yang jelas. Aku akan terus hidup, dan membiarkan selembar kertas mesterius itu menjadi penuntunku untuk bertahan disini.
Sesampainya aku disebuah rumah besar yang jika dilihat dari depan, banyak sekali pintu-pintu kamar untuk disewakan. Entahlah, sepertinya aku akan tinggal disini. Aku berjalan masuk kedalam rumah besar ini, dan lagi-lagi kaki ini sudah lebih tahu kemana aku melangkah sebelum otakku mengetahuinya. Kakiku berhenti di depan pintu berwarna coklat, dan terdapat angka yang menempel di atas pintu.
Nomor 7…, Aku akan mengingatnya, jadi kedua kaki ini tak perlu lagi menuntunku.
“Kau baru pulang, Kise?” seseorang menyapaku. Yang pasti aku tak mengenalnya.
“Ya,” kujawab dengan cukup singkat, seraya dengan cepat membuka pintu kamar dan segera masuk kedalam tanpa mempedulikannya lagi. Dia seorang pria yang masih terlihat muda, dan nampaknya seumuran denganku. Rambutnya berwarna biru kehitaman, dan kulitnya pun juga hitam.
Aku membuka jendela kamar ini dan langsung berbaring diatas ranjang yang empuk. Cukup untuk sejenak melepas penat yang memenuhi pikiranku. Sangat nyaman ketika angin pagi memberimu sebuah kesejukan yang begitu menenangkan hati. Andai saja hidup tak mempunyai masalah, pasti angin pagi yang sejuk ini tak perlu repot-repot untuk menghiburku saat ini.
*****
Dentuman musik yang terdengar keras dan kencang mengguncang tempat ini. Diiringi lampu kelap-kelip yang berwarna-warni semakin memeriahkan malam. Tempat orang-orang dewasa yang senang berpesta. Diatas panggung, seorang wanita cantik dengan Headset yang menggantung dilehernya itu tengah sibuk memencet-mencet tombol disamping piringan hitam. Apalah itu, aku tak mengetahuinya.
Siapa aku sekarang? Dan sejak kapan aku berada disini?
Dan sekarang aku sudah tak lagi memakai pakaian yang tadi pagi kukenakan. Sekarang aku memakai kemeja putih serta rompi berwarna hijau, dan banyak orang yang juga berpakaian sama sepertiku. Persis seperti orang yang nampaknya hendak berjalan mendekatiku.
“Jangan diam saja, Kise. Kita sedang sibuk sekarang,” katanya sembari merangkulku. Tentu saja ini aneh. Apa aku seakrab ini dengannya, atau dia yang memang seperti ini ke semua orang yang dikenalnya.
“Kau siapa?” tanyaku saat melihat kerahnya, dan ia adalah lelaki yang tadi pagi menegurku.
“Bodoh. Aku kan teman satu kostmu,” jawabnya seraya menepak kepalaku.
“Ah, ya. Maaf-maaf.”
“Jaa, Ayo, kita bekerja. Semangat!” ucapnya dengan lantang. Aku hampir saja tertawa melihat ekspresi wajahnya. Dia terlihat begitu gembira menjalani semua ini.
Heh! Apa yang harus kulakukan? Ah, ya. Aku cuma perlu meniru apa yang ia lakukan nanti.
Jadi, setelah itu aku mengikuti dibelakangnya. Ia membawakan sebuah minuman-minuman beralkohol serta gelas dan mangkuk es batu diatas nampan. Kulihat di meja juga ada yang seperti itu. Jadi aku mengambilnya, dan melakukan hal yang sama dengannya.
“Oh,ya, Kise. Kau bawa itu ke room 21. Di lantai 2. Oke!” katanya menyuruhku.
Dan dari sinilah aku sedikit menemukan jawaban tentang catatan yang ada di selembar kertas yang diberikan wanita menyeramkan itu untukku. Semua berawal disini. Perasaan yang baru, serta ketakutan yang sama kembali datang.
Aku sudah sampai di depan pintu VVIP Room nomor 21. Lalu apa yang kulakukan selanjutnya? Ya, aku hanya perlu masuk dan membawakan pesanan ini untuk tamu yang berada di dalam. Jadi, aku pun menekan sebuah tombol, dan seketika pintu itu terbuka dengan sendirinya. Dan, dengan jelas sekali aku melihat tiga orang wanita yang nampak seperti Ibu-Ibu berada di depanku. Walau begitu, ketiganya cukup cantik di mataku. Tapi entah mengapa ada perasaan takut yang tiba-tiba muncul begitu saja.
“Pesanannya, Bu,” kataku sopan seraya meletakkan minuman-minuman itu ke atas meja. Jujur aku gugup saat itu.
“Hahahahahahaha…” dua dari mereka tertawa terbahak-bahak saat aku sedang meletakkan minuman-minuman yang mereka pesan.
“Ya, keleees, masa kita dipanggil Ibu-Ibu. Hahahahaha…,” ucap salah satu diantara mereka yang mengenakkan gaun berwarna biru muda. Begitu ketat seolah-olah ia ingin memamerkan kemolekan tubuhnya.
“Oh, maaf kalo saya salah bicara,” jawabku se-sopan mungkin.
“Panggil kami Tante aja dong. Btw, kamu pelayan baru disini? Siapa namamu?” kata wanita satunya lagi. Dia mengenakkan gaun berwarna hitam, sama seperti yang tadi meledekku. Ia juga terlihat begitu seksi.
“Ennggg~ Iya, Tan. Nama saya Kise.”
“Duh, Liat deh, My. Ini cowok ganteng-ganteng kaku amat,” ucap si Tante gaun hitam kepada teman satunya yang mengenakan kaca mata hitam, dan juga gaun berwarna merah muda.
“Hihihihi…, polos kayaknya,” jawab si Tante berkaca-mata itu dengan pelan sembari sedikit tertawa melihat kegugupanku.
“Kalau begitu saya tinggal dulu, ya, Tan,” kataku pada mereka, dan hendak berjalan meninggalkan tempat itu. Aura ketakutanku masih ada.
“Eh, Kise mau kemana? Disini dulu aja, temenin kita-kita. Kamu liat, kan? Nggak ada cowoknya disini,” jawab si Tante gaun biru muda.
“Tapi saya sedang kerja, Tan,” balasku.
“Masa sih? Kalo gitu, kamu tunggu sebentar, ya?”
Apa yang mau mereka lakukan padaku?
Ketakutanku belum hilang, malah aku semakin takut berada disini, dan juga kau tahu apa yang akan mereka lakukan padaku. Apakah semua kejadian kelam yang merenggut keperjakaanku saat itu akan terjadi lagi.
“Halo, Pak Riko. Bisa Bapak kesini sebentar…, Ya, Room 21,” si Tante gaun biru muda itu sedang menelpon seseorang, dan lagi-lagi aku tak tahu siapa Pak Riko yang ia sebutkan tadi.
“Oh, ya. Nama saya Milla,” si Tante gaun hitam memperkenalkan dirinya, “Kamu jangan berdiri aja, Kise. Duduk dekat kami sini,” ia menawarkan sesuatu yang membuatku semakin ketakutan. Tiba-tiba aku keringatan, tapi anehnya aku menuruti perintahnya begitu saja, dan duduk di tengah-tengah dari mereka bertiga.
“Kalau saya Rika,” kata si Tante gaun Biru muda, “Dan itu, Amy. Mamahnya Raffi Ahmad, Hehe…,” katanya lagi seraya mengenalkan dirinya dan juga teman yang ada disebelahnya. Tante yang paling cantik menurutku.
Siapa Raffi Ahmad? Orang terkenalkah?
Aku hanya membalasnya dengan sebuah senyuman yang juga masih menyimpan ketakutanku.
“Santai aja, Kita nggak gigit, kok,” ucap Tante Rika sambil merangkulku.
“Iya, Tan,” jawabku sambil tersenyum seadanya.
Tante Milla memandangku seraya mengelus-elus kepalaku. Aku dibuat semakin takut oleh tatapannya. Selain itu, tangan Tante Rika juga tidak tinggal diam. Ia membelai pahaku, dan itu akhirnya diikuti oleh tangan Tante Milla.
“Duh, ganteng banget sih kamu, Kise. Cat rambutnya juga bagus, ya, Rik?” Tante Milla memujiku, sekaligus bertanya pada temannya.
“Emang ini kamu cat rambutnya?” kali ini Tante Rika meneruskan pertanyaan Tante Milla padaku.
“Dari lahir udah seperti ini, Tan,” jawabku, “Aaaauuuwwww…,” Tante Rika mencubit pahaku.
“Masa sih?” katanya lagi seraya mencubitku lagi.
Tiba-tiba bel Room bunyi. Tante Milla berdiri dan membukakan pintu, sepertinya orang yang bernama Riko yang tadi ditelpon oleh Tante Rika sudah datang. Dan benar saja, seorang Pria tampan dengan rambut hitam mengkilat dan klimis itu masuk dan langsung memeluk Tante Milla dan juga mencium bibir Tante Milla, tentu saja Tante Milla kaget, tapi setelah ia sudah terbiasa, ia malah membalas ciuman dari lelaki bernama Riko.
“Mmmmmhhhhh, udah, ah, sayang. Malu tau...,” Tante Milla melepas pelukan dan ciuman dari lelaki bernama Riko.
“Lho, emang kenapa? Kita juga udah biasa kaya gini, kan?” kata Riko santai.
“Iya, sih. Tapi itukan ada karyawanmu,” jawab Tante Milla.
“Hah?” Riko terkejut sambil melihatku yang sedang di rangkul Tante Rika.
Tante Rika tersenyum dan ia mencium pipiku. Aku kaget setengah mati dengan apa yang baru saja dilakukannya.
“Kise?” kata Riko yang masih terkejut melihatku.
Apa! Lelaki ini mengenalku juga?
“Dia ngapain disini?” tanyanya entah kepada siapa.
“Kita bertiga mau nyewa dia malam ini?” jawab Tante Rika.
Aku hanya diam mematung, dan tak tahu harus berbuat apa. Tapi, aku menyempatkan mataku memperhatikan Tante Amy yang ternyata juga sedang mencuri pandang padaku. Dan seketika itu juga mata kami bertemu.
“Wah, wah… beruntung kali anak ini. Hmm, berarti malam ini kamu nggak mau aku servis?” Pak Riko yang ternyata atasanku kembali mengoceh.
“Hehehe, aku kangen sama brondong polos,” kali ini Tante Milla yang menjawab dengan sembarangan.
“Dasar Bitchy….,” kata Pak Riko sambil tangannya menampar Pantat bulat Tante Milla.
“Auuuuuwww, Riko….”
“Tante Amy mau ikutan juga?” kali ini Pak Riko bertanya pada Tante Amy.
“Ah, nggak kok, Rik. Kamu kan tahu, sebentar lagi juga aku pulang?” jawab Tante Amy.
“Mau pulang bareng saya?” Pak Riko menawarkan untuk mengantar Tante Amy pulang.
“Nggak usah, Rik. Makasih…,” jawab Tante Amy.
“Ah, susah sekali menaklukanmu Tante, padahal aku penasaran dengan tubuhmu juga,” goda Pak Riko.
Tante Amy hanya membalasnya dengan senyuman.
“Baiklah, Kise. Tolong puaskan pelanggan tetap kita, Oke.” Ucapnya seraya berlalu pergi meninggalkanku.
Selepas perginya Pak Riko. Kedua Tante yang menggodaku, langsung menghampiriku, dan mulai memelukku.
“It’s show time, Babe.”
Mereka berdua langsung saja membuka kancing rompiku dan juga kemejaku. Tangan Tante Rika menarik kepalaku, dan bibirnya yang masih berbalut Lipstick itu langsung menyambar mulutku. Membuatku kaget sebelum aku siap menyambutnya. Lidahnya membelit lidahku, dan aku bisa merasakan air liurnya yang ia keluarkan kedalam mulutku, seolah meminta untuk aku telan, sebagai gantinya ia juga menyedot air liurku. Dan sejak entah kapan. Aku sudah tak lagi mengenakan apa-apa. Bibir Tante Milla menjilat putingku yang kecil. Aku dibuat melayang oleh keduanya. Aku ingin melihat apa yang Tante Amy lakukan selagi ia memperhatikan keadaanku sekarang.
Selain itu juga sebenernya aku mulai kembali takut membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Nampaknya aku trauma dengan kejadian malam yang paling menakutkan buatku. Aku coba menenangkan diri ini, cukup aku menikmati apa yang sedang mereka lakukan padaku. Jika akhirnya aku harus mati. Ya, sudah. Aku akan siap menerimanya, namun jika ada kesempatan melawan. Aku akan melakukan apapun untuk bertahan.
Permainan pun semakin panas. Tante Rika memang belum melepaskan ciumannya dariku, tapi entah sejak kapan, kontolku sudah mencuat keluar, dan Tante Milla mengocok dengan tangannya, dan yang mengejutkan lagi buatku, Tante Milla juga sudah bugil. Ia masih menjilati putingku, dan jilatin perlahan-lahan turun ke bagian pusar, dan akhirnya tiba di kepala kontolku yang sudah sedikit mengeluarkan cairan. Ia langsung menjilatinya tanpa ragu dan juga langsung memasukkan separuh kontolku yang sudah tegang ke dalam mulutnya.
Hawa ruangan yang tadinya begitu dingin seketika berubah menjadi sangat panas, terlebih Tante Rika juga sudah melepaskan ciumannya di bibirku. Ia berdiri dan membuka gaunnya sambil menari di hadapanku. Lalu ia menyuruh Tante Milla untuk turun kebawah sembari tetap melanjutkan mengoral kontolku. Tante Rika menaiki sofa panjang dan ia mengangkangi kepalaku, lalu menaruh memeknya tepat di depan bibirku. Aku mengerti maksudnya, aku pun langsung memegang bongkahan pantatnya, dan mulai menjilati memeknya, meski aku tak tahu bagaimana memuaskannya.
Tante Rika mendesah dengan kencang saat aku menggigit biji kelentitnya. Aku menyedotnya seperti ujung sedotan. Rasanya begitu nikmat, ini membuatku berharap kalau permainan seks mala mini berbeda dengan sebelumnya. Karena sepertinya mereka berdua tidak berniat untuk menyiksaku.
Aku tak sempat lagi memperhatikan apa yang Tante Amy lakukan. Tante Rika dan Milla membuatku lebih membari perhatian kepada mereka berdua. Apalagi saat Tante Rika teriak sekencang-kencangnya saat ia sudah mendapat orgasme, dan cairan yang keluar dari memeknya tentu saja membanjiri wajahku. Kakinya bergetar hebat. Wajahnya Nampak semu, tapi tidak menghilangkan kecantikannya. Malah semakin terlihat manis, terlebih ia langsung memperlakukanku seperti anak kucing, kala ia menjilati cairannya sendiri yang masih ada di wajahku.
Sementara Tante Milla sepertinya sudah lelah terus mengoral kontolku. Ia pun meminta hal yang sama padaku. Kali ini dengan cara yang berbeda. Ia menjatuhkan tubuhku, lalu ia menduduki wajahku. Sedikit aku memperhatikan memeknya yang ditumbuhi bulu yang sangat lebat, itu membuatku semakin bergairah. Maka aku pun langsung dengan lahap menjilatinya, seolah itu adalah makanan terenak yang pernah kucicipi di dunia ini.
Aku tak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Tante Rika dan Tante Amy, sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu. Aku semakin bernafsu memberikan kepuasan pada Tante Milla, meski aku tahu mereka berdua lebih pengalaman dariku, tapi aku tak mau membiarkan hal ini lewat begitu saja. Aku tak mau menyiakan kesempatan yang datang. Kujilati juga lubang pantat Tante Milla yang baunya cukup untuk membuatku semakin terpesona oleh kenikmatan seksual. Ini sedikit menghilangkan ketakutanku sebelumnya. Apalagi kontolku tegang bukan karena dipaksakan. Ini murni karena hawa nafsu yang berada di tubuhku tertarik keluar oleh pesona mereka.
Setelah merasa tubuhnya sudah kembali bergairah. Tante Rika yang kini gentian mengoral kontolku, Hanya sebentar saja ia melakukan itu. Karena kurasa mungkin ia hanya ingin berkenalan dengannya lebih dulu sekalian untuk menjaga agar kontolku tetap basah. Lalu ia berdiri dan jongkok, menuntun kontolku agar masuk kelubang memeknya. Dan ia memekik kuat saat akhirnya kontolku masuk seluruhnya.
“Aaaaaaahhhhh… Besar sekali punyamu, Kise….”
Sementara aku masih fokus membuat Tante Milla orgasme. Akupun mencari biji kelentitnya dan menyedotnya dengan kuat, lalu mulai memasukkan lidahku kedalam memeknya. Ia memegang jari-jariku lalu menjilatnya, setelah itu ia menuntunnya ke lubang pantatnya. Aku sedikit mengerti maksudnya. Jadi aku menjawabnya dengan memasukkan jari tengahku ke dalam lubang pantatnya. Dan teknik itu ternyata berhasil membuat orgasme, sama seperti Tante Rika. Cairan dari memeknya kembali membasahi wajahku. Ia lemas lalu memelukku. Sementara Tante Rika masih bergoyang-goyang memompa kontolku. Sungguh aku baru merasakan kepuasan apa itu seks. Tante-Tante ini lah penyebabnya, dan aku berterima kasih pada mereka.
Tante Milla mencium bibirku dengan lembut, setelah itu ia membisikkan kata-kata yang mungkin bisa membuat semua Pria di dunia ini ingin mengulangi lagi bercinta dengannya.
“Kau begitu memuaskan, Kise.”
Setelah aku dan Tante Rika sama-sama telah mencapai puncak kenikmatan. Aku sungguh sangat malu saat Tante Amy memperhatikanku, meski aku berani menatap wajah cantiknya. Tetap saja aku tak tahu harus bertindak seperti apa. Permainan malam itu berakhir. Kami bertiga tetap telanjang seraya menghabiskan minuman yang ada di meja ruangan. Dan tetap, aku tak berani berbicara pada Tante Amy meski kadang ia mencoba mengajakku becanda.
Sebelum terjadi perpisahan malam itu. Suara dering yang muncul dari handphone Tante Amy membuat suasana menjadi hening seketika. Dia menyuruh kedua temannya untuk tetap diam, meski saat itu suasana kami sedang saling dipenuhi canda. Walau begitu keduanya tetap diam.
“Halo, Fi. Iya, sebentar lagi Mamah pulang, kok…, Iya, iya, nggak usah ngomel-ngomel atuh sama Mamah,” kata Tante Amy di telpon. Sepertinya anaknya yang bernama Raffi Ahmad itu sedang mengomel pada Tante Amy.
Yap, tepat setelah pembicaraan Tante Amy ditelpon berakhir. Perpisahan yang tak kuharapkan itu akhirnya tiba. Tante Rika dan Tante Milla bergegas mengenakan gaunnya masing-masing, dan mengucapkan perpisahan padaku.
Tante Rika memberikan selembar amplop tebal kepadaku, dan juga memberikan selembar kertas kecil yang berisikan tiga nomor handphone yang berbeda-beda.
“Itu nomor kami. Kamu boleh menghubungi siapapun kalau kamu masih mau sama kami,” begitulah kata Tante Rika.
Lalu mengapa ada nomor handphone Tante Amy didalamnya?
“Rika, kamu apa-apaan sih. Kok nomor HP aku juga ada?” kata Tante Amy yang mengeluhkan perbuatan Tante Rika.
Meski aku masih tak mengerti, namun jawaban Tante Rika sungguh membuatku terkejut. Karena apa yang dikatakannya adalah suatu hal yang akhirnya akan membawaku masuk ke dalam apa yang tertulis dari selembar kertas yang diberikan oleh wanita menyeramkan saat itu.
“ Katanya kamu juga mau, My? Kalau sekarang kamu boleh malu, tapi kalau kalian berdua kan tentu saja kamu tidak malu.”
Itulah jawaban Tante Rika yang akhirnya nanti membuatku lebih dulu menghubungi Tante Amy daripada mereka berdua. Tentu saja perasaanku saat ini adalah lebih jatuh cinta oleh pesona malu-malunya Tante Amy yang ternyata sebenarnya mau melakukan seks denganku, tapi mungkin saat itu ada rasa takut dalam dirinya yang akhirnya membuat dia tak jadi bergabung dalam permainan panas tadi.
Setelah itu mereka akhirnya pergi meninggalkanku sendirian. Aku tak lagi membayangkan apa yang terjadi barusan, tapi aku sedang membayangkan apa yang nanti akan aku lakukan pada Tante Amy.
*****
0 Response to "Cerita Dewasa Artis Amy Qonita 2"
Post a Comment