Cerita Dewasa Artis Marissa 1


Part 1



Beberapa hari ini, jadwalku cukup sibuk untuk dihabiskan di luar kantor. Aku lebih sering melakukan dinas ke luar kantor. Kadang mencuri waktu dengan ritual "bobo siang" sama yang sudah - sudah sebelumnya. Well, at least, hari - hariku berjalan dengan normal.
Disebuah kantin di kawasan perkantoran Mega Kuningan, dalam rangka meeting dengan klien. Aku sempatkan diri untuk melepaskan dahaga karena panasnya cuaca. Aku duduk bersama dengan orang - orang berkemeja rapi yang tidak kukenal. Seorang pria berusia 35-an menyapaku. Kumis tipisnya menebar senyum kepadaku.
"Pak Grha dari PT. Xxxx?"
"Iya, saya sendiri."
"Saya Tito dari General Affair Div. PT. Xxxx."
Aku bangkit dan menyalami Pak Tito.
"Mohon maaf, saya tidak mengenali Pak Tito."
"Tidak apa - apa, Pak. Saya kesini karena ada perubahan rencana. Meetingnya dipercepat karena ada keperluan mendadak."
"Sekarang meetingnya, Pak Tito?"
"Iya, di ruangan saya saja."
Selesai dengan Pak Tito, sekilas, mataku melihat seorang wanita dengan pakaian khas kantoran berlalu begitu saja.
"Rasanya tidak asing melihatnya."
"Wanita tadi? Iya dia artis sinetron. Pernah main layar lebar juga. Marissa Christina."
"Oh, pantas saja aku pernah melihatnya."
"Perusahaan kami menyewanya sebagai MC saat meeting kantor dengan klien. Maklum, Boss kami ngefans istilahnya dengan dia."
Aku berpamitan pulang, dan langsung menuju ke rumah. Zaskia meneleponku untuk ketemuan. Huh, aku akan pulang terlambat lagi.
Beberapa hari kemudian, aku kembali meeting dengan Pak Tito dalam rapat final. Wanita yang kulihat tempo hari menjadi MC. Sepanjang meeting, aku tidak fokus karena ia terlalu menebarkan pesonanya ke semuanya dalam ruangan. Gayanya anggun dan dewasa menggoda naluri lelakiku. Rambutnya digelung ke belakang membuatku bergairah. Pak Tito di dekatku berbisik.
"Sepertinya anda tidak fokus, Pak Grha."
"Ya, MC yang disewa cukup mengganggu konsentrasiku. Strategi perusahaan anda brillian. Memanfaatkan daya tarik wanita."
"Itu keinginan Boss kami. Kami hanya menuruti saja."
Coffe break tiba, kami beristirahat untuk melepas penat dalam ruangan. Tentu saja, aku masih bersama Pak Tito yang sepertinya menemukan partner ngobrol yang nyaman setelah beberapa hari komunikasi intens.
"Anda sepertinya terbiasa, Pak Tito."
"Melihatnya berkali - kali tentu membuatku menjadi hal yang biasa. Kau berniat menggunakan jasanya?"
"Perusahaan tempatku bekerja tidak se bonafide dengan perusahaan ini."
"Kau memuji berlebihan. Tidak tertarik jasa lainnya? Kebetulan karirnya di entertainment agak menurun. Biasa, harus cari tambahan."
"Maksudnya?"
"Teman tidur."
"Dia terlibat juga?"
"Beda mucikari aja."
"Gajiku setahun bakal cuma dia semalaman dengan dia."
"Hahaha....culik aja terus perkosa dia."
"Lebih panjang urusannya. Lagipula, semangat sekali dengan ide itu."
"Aku juga lelaki normal seperti anda."
"Sepertinya sudah akan mulai lagi."
"Ya sudah kita kembali ke dalam ruangan."
Dan pikiranku teringat akan perkataan Pak Tito. Kuabaikan saja hingga akhir meeting dengan hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Aku undur diri bersama Boss perusahaanku. Pak Tito mengantarku hingga lobby.
"Ya ampun, penaku tertinggal di ruang meeting." Bossku menepuk dahinya.
"Ada apa, Pak?" Tanyaku.
"Penaku tertinggal di ruang meeting. Itu pena berharga saya. Harganya bisa mencapai satu unit sepeda motor."
"Baik, pak. Saya ambilkan untuk bapak."
"Aku masih ada meeting di tempat lain. Nanti, antarkan saja penaku ke rumah. Ini tempatnya. Awas hati -hati."
"Baik, Pak."
Aku menghampiri Pak Tito yang masih di Lobby.
"Pak Tito, saya bisa ke ruang meeting? Pena mahal bossku ketinggalan disana."
"Aku akan menemanimu kesana."
Kantor sudah dalam keadaan sepi karena karyawan sudah pulang dari kantor. Kulangkahkan kaki menuju ruang meeting. Lamat - lamat terdengar percakapan. Ruang meeting hanya ada 1 akses pintu masuk dan keluar dan tertutup.
"Aku mendengar sesuatu, Pak Tito."
Kudekatkan telingaku pada pintu yang diikuti oleh Pak Tito.
"Sayang, udah ditransfer ya. Sekarang puasin aku dunk."
"Bentar ya aku cek dulu. Udah masuk nih."
Aku melihat Pak Tito. Kami berpikiran sama saat itu.
"Itu suara Marissa? Bersama siapa dia?"
"Itu suara bossku, Pak Grha."
"Kita denger aja."
Aku kembali mendengarkan.
"Aku buka nih. Uuucchhh.....udah gede aja....gak sabar diisep ya?"
"Aaahhhh.......aaaaaahhhhh......uuuuhhhh...."
"Plop...plop...plop....plop....plop...."
"Aaaaaahhhh........Sssssshhhhh...."
"Punya bapak enak banget...aku jilatin nih....."
"Oooooohhhh.......ssshhhhh"
"Jangan keluar dulu, dunk. Gak mau dimasukkin nih.?"
"Mau dunk dimasukkin."
"Dimasukkin nih....ooooohhhhh.....aaaaaacccchhhh...."
"Terus, sayang. Genjot terus."
"Hhhhmmmmm.......mmmmmmhhhhh......ssssssshhhhhhhh. ......aaaaaaaccccchhhhh...."
"Enak banget nih...."
"Digenjot terus nih....ssssssHhhhhh...."
Dari luar, aku melihat Pak Tito yang agak masam.
"Yah, jadi gak enak sama kamu, Grha."
"Gimana caranya ngambil penanya ya, Tito."
"Jangan lama - lama disini. Bisa bahaya akunya, ke ruanganku aja."
"Tapi, penaku."
"Kita tunggu saja hingga selesai."
"Baiklah."
Aku berada di ruangannya saat ini. Ia sibuk dengan komputernya. Aku cuma duduk membayangkan apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Marissa, kenapa pikiranku dipenuhi olehnya.
"Ayo kita kesana. Sepertinya, mereka sudah selesai."
Aku kembali ke ruang meeting. Sudah tidak ada siapapun disana. Aku menemukan pena milik bossku. Pak Tito, sibuk dengan vas bunga di pojok ruangan. Ia menggenggam sebuah action camera.
"Kau menaruh kamera di ruangan ini?"
"Aku berjaga saja apabila boss macam - macam denganku."
"Sebuah senjata. Aku jadi tidak yakin kau itu orang baik."
"Kita semua abu - abu. Dan, aku sudah mengumpulkan bukti. Lagipula, akan ada dimana ada krisis yang menyeretku masuk."
"Yang penting aku bisa mendapatkan penaku."
"Tolong rahasiakan apa yang aku lakukan."
"Aku tidak menjaminnya."
"Hahaha....aku pastikan itu."
Aku mengembalikan pena milik boss dan kembali ke rumah. Aku menyalakan komputer untuk sekedar mengecek email dan bersosial media.
Sebuah email anonim masuk dan memberiku tautan menuju laman penyimpanan online. Aku mengunduhnya dan terpassword. Apa ini? Menyuruhku untuk mengunduh file dengan password yang aku tidak tahu. Aku mengetik sembarang password. Tidak ada yang berhasil. Aku mengetik Marissa dan terbuka. Sebuah file video yang beradegan mesum. Aku mengenali wanitanya sebagai Marissa. Buru - buru, aku menelepon Pak Tito.
"Halo. Mengapa kau mengirim file ini kepadaku?"
"Hanya berjaga saja. Always have a backup. Dan, garansi agar hal ini tidak bocor ke luar. Somehow, I trust you and you are the one who capable."
"Baiklah, aku mengerti."
Marissa oh Marissa, wanita dewasa yang menggairahkanku.



Pagi semangat membangunkanku dari peristirahatan. Saatnya kembali bekerja. Teleponku berdering. Siapa pagi - pagi meneleponku. Private Number.
"Halo, siapa ya?"
"Bukain pintu depan dunk buruan."
"Iya, iya."
Aku beranjak ke pintu depan. Masih dengan sarung dan baju kubuka pintu depan. Seorang wanita menubrukku da mendaratkan ciuman.
"Kara? Kenapa ada disini?"
"Emangnya gak boleh ya? Boleh aku masuk dulu."
Kupersilahkan ia masuk. Setelah itu, aku mempersiapkan minuman hangat pagi ini. Kara menggodaku dari belakang, dicubitnya pantatku dan dipeluknya badanku.
"Kangen banget sama kamu nih."
"Kangen apanya? Akunya atau penis aku?"
"Dua - duanya dunk."
Dilonggarkannya sarungku hingga terlepas. Praktis, aku telanjang di bagian bawah. Gemas, Kara meraba dan menggenggam penisku.
"Aahhh..." Desahku pendek "Kara, aku lagi morningwood masih kamu pegangin juga."
"Pengen ngerasain penis fresh kamu pagi ini."
Ia masih memeganginya. Sejurus, ia mulai mempermainkan penisku dengan lidahnya yang mengulum. Dioralnya penisku hingga zakar. Diriku tidak dapat menahan diri juga, sesekali kudorong penisku pelan di dalam mulutnya.
"Emutan kamu bikin kelojotan, Ra." Kuatur nafasku mengikuti permainannya. Tersengal - sengal mencari udara disekitarku.
"Sssslllpppp.........sssssllllllppppp.......Ssssll lllllpppp...."
Diambilnya sebuah gelas. Diarahkannya penisku di dalamnya.
"HhhhhHhnnnngggggghHhhhhhh......aaaahhhh....."
Ditangannya, gelas bening itu berisi spermaku. Di campurnya ke dalam minuman hangatnya dan di minumnya.
"Makasih ya udah bikinin aku minuman pagi ini. Sama pejuhnya yang bikin manis minuman ini."
Mandi ini terasa nyaman, mungkin karena Kara telah memberiku semangat yang luar biasa. Aku sendiri tidak membayangkannya. Aku sudah rapi, Kara masih disana menikmati minumannya. Ia menyeka bibirnya dan mendaratkan ciuman hangatnya ketika aku disana. Aku meraba bagian V nya. Terasa tebal oleh sesuatu.
"Lagi mens ya?" Tanyaku.
"Iya, lagi mens. Dari kemarin." Jawabnya sesal "padahal, pengen main kuda - kudaan sama kamu."
"Nanti aja kalo udah selesai."
"Nyusu yuk."
Ia berbaring di sofa. Dibukanya pakaian atasnya. Payudaranya menyembul jelas menjadi pusat perhatianku. Seperti bayi, payudara itu kuhisap kuat dan tanpa malu meninggalkan bekas kemerahan.
"Bayi gede ini nakal ya. Ibunya dikasih cupang di toket."
Aku tidak memperdulikan perkataannya. Yang kudengar kini, hanya desahannya.
"Aaaahhh......sssssssHhhhh......mmmmmmhhhhhh...... .ooooocccchhh...."
"Mau dijepit gak penisnya?"
Dari balik celana, penisku menyeruak dari lubang restsleting. Ia sedikit menyandar pada sofa. Penisku dijepit payudaranya. Ia mulai mengolahnya seperti adonan. Aku mengiris payudaranya dengan penisku. Dari bibirnya, ludahnya melumasi penisku agar bergerak lancar. Sengaja, ia menciumi penisku.
"Aaaaaahhhh......nnnngggggghhhhh...cccrrroooootttt ......ccccccrrrroooottt......cccccrrrrooootttt.... "
Spermaku menodai muka dan lehernya.
"Iiihhhh.....jadi jorok nih muka aku." Rajuk Kara. Padahal, ia menikmatinya.
Ia mencuci mukanya di kamar mandi.
"Udah siang nih, Ra. Aku harus berangkat kerja juga."
Kami berpisah. Today is a good day to start. Aku berangkat kerja dengan nyaman.
Lama tidak kudengar kabar Pak Tito. Dan, aku mendapat tugas dinas luar kantor. Aku menuju sebuah pusat perkantoran. Dari jauh, aku melihat sosok tidak asing. Ya, dia Marissa pikirku. Ia sibuk dengan gadgetnya tidak memperhatikan jalan. Di depannya, ada peringatan lantai basah. Aku menarik pinggangnya hingga ia berbalik badan ke arahku. Matanya menatap lurus ke mataku. Kami sempat freeze untuk beberapa saat.
"Ibu Marissa, lain kali hati - hati. Untung, tidak terpeleset."
"Makasih ya pak." Katanya "Sepertinya saya pernah liat anda. Anda yang pernah meeting di kantor PT. Xxxx"
"Iya itu saya. Oiya, perkenalkan diri saya. Saya Grha."
"Gak perlu formal begitu. Panggil aja Icha. Mau kemana sekarang?"
"Tadi ada keperluan di sini. Sekarang ya balik kantor, Ibu Icha."
"Emang sudah tua ya dipanggil Ibu?"
"Belum tante - tante 'kan?" Candaku dengannya yang dibalas dengan tawa.
"Itung - itung tadi nolongin aku. Aku ajak kamu ngopi. Gimana?"
"Ide yang bagus."
Diseberang kami ada kedai kopi CB dan saling bercengkrama satu sama lain mengenalkan diri lebih lanjut. Kami menukar kartu nama agar lebih akrab.
"Kalo butuh jasa aku hubungin di nomor yang depan."
"Baiklah."
"Kalo ingin ngobrol langsung liat di belakang."
Sebuah tulisan nomor dengan pulpen biru dengan nama Icha.
"Terima kasih, Ibu Icha."
"Bisa panggil Icha aja?"
"Baiklah, Icha. Seperti itu?"
"Aneh ya, berasa kaya artis siapa gitu."
"Hahaha...."
Pribadi yang menarik. Nyaman diajak ngobrol. Semoga bisa saja berlanjut lebih dalam.
"Maaf, aku masih ada urusan. Nanti kita sambung lagi."
Ia bangkit dari kursi dan berbisik kepadaku.
"Kita pasti bertemu lagi."



Ia berlalu pergi. Fiuh, kata - katanya membuat merinding dada. Jika harus membayarnya, lebih baik mundur perlahan. Aku kembali ke kantor, baru saja aku membalik badan, Sibad mengenaliku.
"Grha?"
"Sibad?"
"Gimana kabarnya?"
"Baik koq. Tumben disini. Lagi apa?"
"Ada urusan kerjaan."
"Udah lama gak ketemu sama kamu. Temenin dunk."
Obrolan kami berlanjut dengan akhir ia tertidur pulas di kasur hotel. Aku mengecup keningnya.
"Sayang, aku balik kantor duluan yah."
Ia masih tertidur. Aku meninggalkannya untuk balik kantor menyelesaikan pekerjaan. Sibad, Gita, Zaskia, dan Kara. Fuh, aku harus mulai mengendalikan diriku sendiri.
Tidak ada yang menarik hingga berakhirnya hari. Hanya istirahat lebih awal karena lelah yang sangat. Penisku juga membutuhkan waktu beristirahat.
Weekend tiba, pagi - pagi aku berangkat ke kota karena ada Car Free Day. Bebas aku berlari di jalan yang sudah di batasi. Sekalian, cuci mata dengan melihat perempuan - perempuan muda berkeringat.
"Hey, kau berolahraga juga disini?" Sapa Marissa entah dari mana.
"Mencari suasana baru aja. Bosen lari - lari di deket rumah."
"Masih capek nih?" Ia berjongkok di depanku.
Marissa memakai baju ketat warna abu abu dengan siluet merah muda. Hanya saja, ia menguncir rambutnya. Keringatnya membasahi bajunya.
"Ayolah kalo gitu." Kataku.
Kami berlari seiringan. Orang - orang melihat Marissa. Hingga ada kumpulan Ibu - Ibu dan remaja di depanku meneriakkan nama Marissa.
"Sepertinya lain kali aku harus berlari di dekat rumahmu saja agar tidak terjadi seperti ini." Ia berhenti kemudian melayani para fansnya. Berfoto, minta tanda tangan dan banyak hal lainnya.
Ia memberi isyarat kepadaku agar membubarkan kerumunan itu.
"Permisi ya Bapak, Ibu, Mbak, Adek. Mbak Marissanya mau olahraga dulu. Nanti disambung lagi ya. Terima kasih."
Walau ada yang tidak menerima. Kujelaskan perlahan dan mereka membubarkan diri. Kami kembali berlari hingga ia beristirahat.
"Udah ah capek. Udah lumayan juga." Ia ngos - ngosan setelah berlari.
Aku memberikan botol air mineral kepadanya.
"Makasih." Marissa meminumnya dan menyeka keringatnya dengan handuk kecil yang dibawanya.
"By the way, makasih ya udah nemenin aku lari pagi ini." Kataku.
"Aku yang bilang harusnya. Kamu udah bantuin aku tadi sama fans aku."
"Gak apa - apa. Biasa aja."
"Oiya, kenapa gak ngehubungin aku? Padahal aku nungguin loh. Lagi sibuk kerjaan?"
"Dikit sih. Sungkan aku ngehubungin kamu."
"Kenapa? Aku juga manusia juga."
"Ya, karena kamu artis, jadi berasa kecil aja akunya."
"Aneh kamunya gara - gara aku artis terus kamu sungkan ngehubungin aku. Anggap aja aku pekerja kantoran kaya kamu aja."
"Nanti malah ngobrolin kerjaan lagi. Oiya, emang kamu kerja di PT. Xxxx itu?"
"Bukan, aku cuma jadi MC meeting aja. Lumayan nambah wawasan dan kerjaan. Jadi artis gak selamanya untung."
"Iya sih. Mending cari kerjaan atau usaha gitu."
"Aku syuting dulu ya. Inget, aku nunggu kamu buat hubungin aku."
Ia beranjak pergi dengan kendaraannya. Handuknya ketinggalan di dekatku. Aku menyusul dan gagal mengejarnya. Bau keringat Marissa terpancar dari handuknya. Kubawa saja pulang ke rumah dan aku terlupa dengan handuk itu hingga selesai aktivitas dan kerjaan. Kuciumi handuknya, wangi badannya menempel disana. Pikiranku terbuai oleh Marissa saat itu. Dering ponsel membuyarkanku. Dari Marissa.
"Halo, Mar...eh Icha."
"Nah gitu dunk, Grha."
"Lagi break syuting?"
"Ya belum ada scene lagi buat aku. Daripada bengong, nelpon kamu aja."
"Oh begitu ya."
"Jadi, Tuan yang sungkan ini masih sungkankah untuk ngehubungin?"
"Aku rasa kekhawatiranku agak berkurang."
"Handukmu ketinggalan loh, Icha."
"Ada sama kamu?"
"Iya ada sama aku. Cuma belum sempet dicuci. Gimana cara balikinnya ya ke kamu, Cha."
"Yaudah gapapa simpen aja buat kamu. Bukan dengan orang lain. Kali aja kepake."
"Buat apaan? Buat mandi kekecilan."
"Buat urusan laki - laki dunk."
"Ha?"
"Masa' dijelasin juga sih. Buat onani kan bisa."
"Aduh, Icha ada - ada aja."
"Emang gak pernah onani?"
"Ya pernah sih."
"Yaudah onani aja pake handuk aku kan lumayan."
"Capek ah pake tangan sendiri. Kenapa gak dibantuin aja onaninya?"
"Jorok ih kamunya."
"Kamunya bilang gitu."
"Asal jangan dijual aja. Kalo dijual, aku bakal cari kamu."
"Iya. Bentar lagi aku cuci koq. Aku bukan orang demen begituan."
"Terus demennya?"
"Langsung aja."
"Yaudah, aku ada scene lagi. Bye."
Dia begitu bersemangat menghubungiku. Ada apa sebenarnya?
Hubunganku dengan Marissa semakin intens, obrolanku dengannya sudah menjurus ke hal yang berbau dewasa. Ia pun mengadakan pertemuan denganku dengan mengajak makan malam.
"Thanks ya udah ngajak makan malem bareng, Cha."
"Sebenernya ini di luar habit aku. Tapi gapapa koq. Sekali - kali aja boleh"
"Akunya yang gak enak sama kamu."
"Dienak - enakin aja. Gak usah grogi gitu."
"Emang keliatan ya?"
"Keliatan banget tuh."
"Kamu cantiknya kebangetan sih. Udah tinggi, cantik, baik lagi."
"Terus.....?"
"Jangan diterusin ah. Bingung akunya."
"Aku stay di hotel deket sini. Anterin yuk."



Kuantar Marissa ke sebuah hotel. Dari dalam tasnya, ia mengeluarkan sebuah kartu dan memasukkannya di slot pintu.
"Udah sampai kan, Cha. Aku permisi dulu."
"Masuk dulu aja, temenin aku bentar." Ia menggamit tanganku.
"Gimana ya?"
"Udah masuk aja."
Kamar hotel itu cukup sempit. Warna krem dominan dengan sentuhan vintage terkesan minimalis. Aku sendiri duduk di kursi di depan kasur. Marissa mengambil 2 gelas dan sebuah botol wine.
"Suka nge-wine?"
"Belum pernah sama sekali."
"Kebetulan, saatnya mencoba wine."
Ia menuangkan wine berwarna merah cherry ke dalam gelas.
"Bersulang." Katanya riang.
"Bersulang." Aku meminum wine sedikit demi sedikit. Ia melihatku dengan matanya penuh selidik.
"Gimana? Gak terlalu buruk kan?"
"Terlalu mewah untukku, Cha."
Kami saling bersulang hingga wine itu habis. Badanku sedikit limbung, aku merasa sangat bergairah saat itu.
Marissa mendekatiku. Ia melepaskan blazernya dan membuka kancing pakaiannya.
"Cha, maksudnya apa ini?"
"Sssstttt.....kita udah sama - sama dewasa."
Ia membuka kancing pakaianku. Kuhalangi dengan tanganku, diciumnya tanganku agar menurutinya. Ia mendekatkan wajahnya di depan wajahku seolah ingin menciumku. Namun, urung dilakukannya. Ia menghembuskan nafas hangatnya di wajahku. Aku jengah dengan tingkahnya.
"Kau tidak menyukainya."
Tanpa sadar, sabuk dan celanaku telah dilucutinya. Dari boxerku, penisku menonjol. Ditekannya dengan jarinya.
"Ooouuuhhhh....."
"Udah cukup tegang nih."
Aku berusaha menjauhkan dirinya. Ia semakin beringas denganku.
"Aku kurang menggoda?"
"Bukan itu. Hal ini salah, Cha."
"Lantas, mengapa kau menolakku."
"Aku tidak bisa melakukannya."
Ia merebahkanku di kasur. Dilepasnya kemeja putih yang dikenakannya, bra hitam menutupi dadanya. Ia membimbing tanganku ke dadanya.
"Diremesin kaya gini....aaahhh...ooooohhhh....." Tanganku digerakkannya dengan tangannya. Disusupkannya masuk ke dalam branya. Aku menyentuh payudaranya secara langsung. Tapi, aku tidak merasakan nikmat apapun karena ketakutanku. Ia memasang muka tidak puas.
"Gak seneng bisa megang toket aku?" Ia melepaskan tanganku dari payudaranya.
Kali ini aku terpejam takut melihat Marissa. Ia mengelus wajahku mencoba membuka mataku.
"Oh jadi mau main tutup mata nih."
Marissa menanggalkan roknya. Mukaku digeseknya dengan Vaginanya yang masih tertutup CD.
"Mmmmppphhhhhh......mmmmmmmpppphhhhffffff..... ."
"Aaaaahhhhhh........uuuuuuccccchhhhh...... Dijilatin dunk......"
Wangi Vagina membuai pikiranku. Sedikit demi sedikit, aku menuruti perintahnya.
"Eh, koq malu - malu sih? Jadi gemes deh."
Ia melepaskan CDnya. Vaginanya dipenuhi bulu halus yang rapi. Gesekan bulu itu memenuhi hidungku.
"Oooooohhhhh......terus.......aaaaaaahhhhhhh...... sssshhhhhh...."
Lidahku bermain dengan Vagina Marissa. Aku kehilangan kontrol diri. Kali ini, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Udahan ya maininnya. Sekarang giliran ngelemesin burung kamu."
Ia menurunkan boxer-ku. Penisku mengacung dimukanya.
"Mmmmhhhh......looks good."
Ia mengulumnya. Ia terlalu pandai dalam hal ini. Baru sebentar saja, aku sudah kewalahan menghadapi ejakulasiku yang akan sebentar lagi.
"Cha, udahan. Gak kuat akunya."
"Mmmmmhhhhh.......sssssllllppppp......sssllllllppp ppp.......mmmmmmhhhhhh....."
Marissa membuka mulutnya dan mengocokku.
"Chaaa, aaaakkkkkuuuuuu kkkkkkkeeeeelllluuuuuuaaaaarrrrr......cccccrrrrroo ooottttt......ccccccccrrrrooooottttt.......ccccccc rrrrrooootttttt.....ccccccrrrrooootttttt....."
Spermaku menyembur deras di mulutnya. Ia menutup mulutnya merasakan spermaku di dalam mulutnya.
"Cha? Kamu gapapa?"
"Pejuh kamu manis kaya gula."

0 Response to "Cerita Dewasa Artis Marissa 1"

Post a Comment