Rumah Dewi
Nama-ku Joe. Aku mendapat tugas untuk mengantarkan pesan keluarga untuk saudara laki-laki dari pihak Ibu. Om Iqbal sebenarnya sudah meninggal setahun lalu. Aku disuruh untuk mengantarkan pesan kepada Istrinya. Karena menyangkut pembagian harta warisan almarhum nenekku. Keluargaku adalah keluarga pedagang, sehingga mereka tidak bisa meninggalkan toko mereka. Jadilah aku yang di utus untuk menyampaikan pesan penting ini karena aku masih kuliah.
Aku tidak terlalu dekat dengan keluarga Om Iqbal. Apalagi Om Iqbal tinggal jauh di luar kota di daerah Jember. dan jarang sekali hadir di acara keluarga. Bukan karena Om Iqbal malu disebut orang desa tapi yang kudengar bahwa Om Iqbal kaya dan menjadi tuan tanah di desanya. Wajah istrinya saja tidak pernah kulihat. Kudengar kalau istrinya ini merupakan istri kedua setelah istri pertamanya meninggal dan menurut rumor istri keduanya ini adalah seorang artis. Namun karena tidak pernah bertemu maka keluarga kami meragukan kebenaran rumor tersebut. Bahkan kalaupun benar dikeluarga kami tidak ada yang tahu nama panggung dari istri kedua Om Iqbal ini.
Aku sampai di desa sudah sore sekitar jam 5. Aku bertanya ke penduduk desa letak rumah Om Iqbal. Tidak sulit namun memang agak terpencil dari rumah penduduk lainnya.
Rumahnya tidak besar namun terbuat dari tembok permanen, berlantai dua. Maklum karena si Om tuan tanah di desa itu. Halaman depan rumahnya pun tampak sepi. Seperti tidak ada penghuni. Pintu dan jendela tertutup.
Kuketuk pintu beberapa kali. Lama kutunggu tidak ada jawaban. Aku membalikkan badan tepat setelah itu terdengar suara kunci diputar. Pintu terbuka, muncullah seorang wanita dari balik pintu.
“Siapa ya?” Wanita itu bertanya
“Saya Joe, keponakan Om Iqbal anak dari Bu Mira.” Kataku.
Wanita itu memandang curiga. Wajah wanita itu berparas cantik. Bibirnya seksi. Paras wajahnya mirip dengan artis Dewi Persik. Rambutnya panjang hitam tergerai. Kulitnya putih terawat bahkan berkilau-kilau diterpa cahaya matahari sore. Ia mengenakan daster gombrong warna hitam. Kutebak dari balik dasternya pasti tubuhnya bagus melihat begitu terawatnya kulit wanita ini. Kutebak umurnya sekitar 20 tahun.
Amat sangat tidak mungkin kalau artis seperti Dewi Persik ada di desa terpencil ini. Apalagi menikah dengan Om-Ku, Mungkin hanya sekedar mirip dan banyak wanita yang wajahnya mirip,itulah yang disebut orang sebagai “muka pasaran”, aku pun bergumam dalam hati.
Aku membuka tas dan menunjukkan surat dan foto-foto keluarga Om Iqbal. Takut wanita ini tidak percaya.
Ia membuka surat tersebut dan membacanya. Juga memperhatikan album foto itu.
“Ayo masuk.” Ajaknya tampaknya kecurigaannya sudah hilang.
Aku melangkah masuk ke dalam rumah. Walaupun tampak megah perabotan rumah itu terasa minimalis.
“Namaku Dewi, aku Istri Om kamu. Kita belum pernah bertemu sebelumnya, ya?” katanya memperkenalkan diri ketika aku duduk di ruang tamu. “kamu mau minum apa?”
“Nggak pakai Persik kan, Tante?” tukasku setengah bercanda. Ini cewek bukan saja berwajah mirip nama depannya juga mirip.
Dewi hanya menyunggingkan senyum manisnya, tidak menjawab pertanyaanku. Ia mempersilakan aku untuk duduk. Aku pun duduk dan menceritakan pesan yang hendak kusampaikan kepadanya.
********
Terdengar adzan maghrib dikejauhan ketika aku menyelesaikan pesanku.
“Oh begitu, baiklah tapi sebenarnya aku tidak peduli soal warisan atau apapun dari keluarga. Karena semua itu hak Iqbal suamiku tapi karena dia sudah meninggal aku menyerahkan semua keputusan kepada keluarga saja. Sesuai musyawarah.” Katanya bijaksana.
“Kalau begitu aku pamit dulu. tante” Kataku.
“Panggil aku Mbak saja. Sudah hampir malam, lebih baik kamu menginap saja di sini.” Kata Dewi.
“Lagipula kalau sudah maghrib kendaraan ke kota susah. Besok saja kamu pulang.” Dia tersenyum. manis sekali.
Aku berfikir sejenak. Benar juga kata tanteku ini, kesini saja tadi menunggu kendaraan hampir 2 jam. Apalagi pulang nanti.
“Sudah nginap saja. Aku siapkan kamar ya.” Katanya. Belum juga aku memutuskan.
“Oh baiklah” aku tidak menolak tawaran yang tidak bisa kutolak karena sebelum aku mengiyakan, yang punya rumah sudah bergegas bangkit menuju pintu ruang sebelah yang tertutup gorden.
********
Segar dan dingin air di desa ini. Mampu membuat pikiran rileks dan tenang setelah mandi.
Aku keluar dari pintu kamar mandi yang terletak di lantai bawah. kamar mandi itu terletak di samping kamar tamu yang kutempati. Begitu keluar kamar mandi langsung bertemu dengan ruang makan yang terletak di dekat tangga.
Tampak Dewi duduk di meja makan. Tubuhnya terbalut dengan daster hijau. Rambutnya basah, sepertinya dia juga baru mandi. Wajahnya tampak segar dan makin cantik sehabis mandi. Tentunya pasti dia punya kamar mandi sendiri di lantai dua.
"Ayo makan dulu, Joe. Maaf seadanya, Mbak nggak masak tadi." Katanya sambil menyendok nasi.
"Tidak apa-apa, Mbak." kataku membiasakan diri memanggilnya Mbak.
Aku menghampiri meja makan. Kulihat sayur daun singkong di meja, sambal hijau, daging empal pedas dan tempe goreng. Aku menarik kursi meja makan dan duduk. Mengambil nasi dari magic jar yang terletak di meja makan. Aku lapar sekali.
"Beginilah kehidupan kami di desa." kata Dewi. "Kalau disana bagaimana?"
"Sama saja, Ibu juga jarang masak kog." Aku menyantap nasi dengan lahap.
“Wah, empuk sekali empalnya.” Aku sedikit memuji. "Om Iqbal dulu meninggalnya kenapa?" tanyaku sembari menelan daging empal empuk yang beraroma wangi khas daging.
"Om Iqbal sakit. Entah sakit apa tidak ada yang tahu. Sudah berobat ke temannya dokter di kota tapi tetap saja tidak sembuh." Dewi menjelaskan sambil makan. "Kata orang desa diguna-guna. 3 bulan kemudian meninggal."
"Memangnya seperti apa sakitnya?" aku penasaran apalagi kalau sampai melibatkan guna-guna yang kudengar masih marak di daerah terpencil ini.
"Sakit perut tiap malam, suka kejang-kejang. Aku sendiri bingung." kata Dewi.
"Tidak dibawa ke dukun?" aku bertanya.
"Om Iqbal kamu itu tidak percaya dukun. Dia kan dokter." Kata Dewi
Benar dugaanku kalau Om Iqbal adalah dokter di desa terpencil ini. Dugaan yang berdasarkan yang kulihat dari buku-buku kedokteran yang berderet di rak dekat ruang tamu.
"Dulu Om kamu itu suka melayani masyarakat di sini secara cuma-cuma. makanya waktu meninggal banyak yang kehilangan dia." Dewi bercerita.
"Kenapa tidak ada yang bilang ke keluarga kami kalau dia meninggal?" tanyaku.
"Aku ingin dan berusaha mencari, tapi aku tidak tahu keluarganya. bahkan nomer telepon atau apapun yang berhubungan dengan keluarga tidak kutemukan di catatannya." Kata Dewi.
Aku heran, pertanyaan yang masih mengganjal. Seakan Om Iqbal membuang dirinya dari keluarga besar. Ada apa? Aku tidak bertanya lebih jauh karena kuyakin istrinya ini juga tidak tahu.
Dewi menyelesaikan makannya. Kemudian bangkit berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangannya.
Aku menyelesaikan makanku. Nikmat juga masakan tanteku ini. Apalagi rasa sambal terasinya yang pas benar pedasnya. Beruntungnya almarhum om Iqbal memiliki istri cantik, seksi dan pintar memasak.
"Tumpuk saja di dapur biar besok aku yang mencuci." Kata Dewi ketika melihat aku membereskan piring kotor kami.
"Dapurnya dimana?" tanyaku.
"Itu diujung. sini aku saja yang bawa." kata Dewi.
"Tidak usah, Mbak. sudah tanggung."
Dewi berjalan menuju dapur. Aku mengikutinya dari belakang. Tidak sengaja kulihat goyangan pinggulnya dari balik daster hijaunya yang meliuk indah saat berjalan. Astaga, aku segera mengalihkan pandanganku. aku melangkah sepanjang lorong pendek melewati pintu empat pintu di kiri dan kanan yang kuduga mungkin kamar atau gudang. Diujung lorong ada pintu menuju dapur. “TONG...TONG..TONG.” Terdengar samar-samar dari dalam pintu disebelah kiri lorong tersebut seperti suara besi dipukul-pukul.
“Suara apa itu.” Tanyaku.
Dewi berhenti dan membalikkan badan. “Suara apa?”
Kami hening sejenak, tidak terdengar suara lagi.
“Ah, lupakan.” Kataku.
Dewi meneruskan langkahnya menuju dapur, aku mengikutinya.
Dapur itu cukup luas. lebih luas dari ruang tamu. dengan meja berbentuk letter L juga ada meja marmer di tengahnya. terlihat kompor gas, microwave di meja berbentuk letter L. Beragam pisau dan alat memasak tergantung di dindingnya. juga ada wastafel di sebelah kirinya. Aku menaruh piring kotor di wastafel itu. Sedangkan Dewi mengambil termos air panas.
"Mau teh atau kopi?" tanyanya.
"Gak usah Mbak, aku cuma minum air putih." kataku meninggalkan dia yang sedang menyeduh teh.
Aku kembali ke ruang televisi yang terletak di samping kiri ruang tamu kalau dilihat dari pintu depan. Berbeda dengan ruang tamu. Antara ruang televisi dan ruang tamu dipisahkan tembok dengan korden berwarna merah sebagai pintu. Ruang televisi ini memiliki sofa modern yang empuk. Televisi 30 inc terletak di lemari panjang dari kayu yang dibawahnya terdapat etalase kaca yang juga berisi buku. Televisi tersebut sejak sore tadi memang menyala dan menampilkan film drama di televisi.
Kurebahkan tubuhku di sofa empuk itu. Dewi masuk ke ruang televisi sambil membawa segelas teh. Ia duduk di sofa panjang di sampingku. Aku memang masih ingin mengobrol banyak dengan tanteku mengenai Om Iqbal.
"Selain jadi dokter apa yang Om Iqbal lakukan disehari-hari?"
"Selain dokter, dia bertani, nanti siang kamu bisa lihat kebun dan sawah kami di belakang." Dewi menjelaskan. "Iqbal orang yang sosial, dia jadi dokter secara cuma-cuma untuk masyarakat desa ini, tapi dia praktek juga di puskesmas kecamatan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup kami juga menjual hasil pertanian dan kebon."
"Kalau Mbak asli daerah sini?" Tanyaku "maaf, kalau aku banyak tanya. Aku penasaran dengan keluarga Om." maklum rasa ingin tahuku berlebihan.
"Nggak. Aku dulu perawat. Aku dari daerah Solo. kebetulan waktu itu lagi diperbantukan di puskesmas dan bertemu deh dengan Om kamu." Dewi meletakkan gelasnya yang sudah habis setengah. "Kemudian kami menikah. Namun setelah Om kamu meninggal aku lebih banyak mengurus tanahnya.
"Mbak menikah dengan Om Iqbal sudah berapa lama?" kataku. "Belum punya anak?"
"Kami belum punya anak karena aku ada kista dan rahimku diangkat. Sekitar lima tahun kami menikah. kenapa?" tanyanya.
"Mau tau aja sih, berarti Mbak menikah sekitar umur 17 atau 18 donk."
Tiba-tiba Dewi tertawa renyah. "Memangnya kamu kira aku umur berapa?"
"Antara 20 sampai 23 tahun." kataku polos.
Dewi tertawa lagi. Kemudian mengambil gelas tehnya. Menyeruput tehnya. Meletakkan di meja. "Umurku jauh kog sama kamu." Kata Dewi.
"Aku umur 22, berarti memang tidak jauh jika Mbak berumur 23 atau 25." aku menebak.
"Kamu salah, aku berumur 30 tahun." katanya tersenyum.
"Yang benar?" Aku ragu dan terperanjat kaget.
Dewi hanya mengangguk meyakinkanku dengan raut wajah serius.
Ternyata dari paras wajahnya, kulit muka dan tubuhnya tidak tampak tanda-tanda penuaan. Bahkan menipu semua mata semua lelaki yang mengira kalau Dewi berumur sekitar 20 tahun.
"Mbak, tidak tampak seperti berumur 30 tahun. Wajah dan kulit Mbak kencang seperti gadis remaja." Kataku memuji.
"Ah, kamu ini pintar merayu." Kata Dewi tersenyum tersipu.
"Ini pujian lho." kataku
Kami berpandangan sejenak. Tiba-tiba Dewi dengan cepat melompat, duduk dipangkuanku berhadapan. Dari dekat tercium wangi tubuhnya yang harum.
"Mbak ngapain?" Aku memegang pinggangnya karena kaget sedikit memberi penolakan.
"Joe, daripada merayu aku, kita langsung saja yuk. Aku sangat membutuhkan sejak Om kamu tidak ada." Dewi membelai lembut wajahku. Senyum dari bibirnya yang indah dan menggoda ada di depan wajahku.
Dadaku langsung bergejolak. Sebagai laki-laki normal bagaimana tidak tergoda apabila ada seorang janda cantik, berkulit halus dan bertubuh seksi berhadapan wajah di pangkuanku sambil memutar-mutar kecil pinggangnya di selangkanganku. Sehingga penis ku pun bereaksi positif terhadap perubahan suasana.
Gimana nih? kataku panik dalam hati. Aku harus tetap tenang. Bagaimanapun wanita ini adalah istri pamanku, walaupun pamanku sudah meninggal tetap saja, tidak etis. Tapi setan di kupingku seakan berbisik lain untuk menyuruh nafsuku segera memeluk, menciumi dan menelanjangi perempuan cantik dihadapanku ini. Apalagi ketika Dewi menempelkan keningnya di keningku. Nafas perempuan itu terasa harum.
Aku memegang pinggang Dewi yang terasa ramping dari balik dasternya. Mendorong Dewi ke samping, sehingga wanita itu jatuh terlentang di sofa namun menahan tubuhnya dengan siku. Hal ini kulakukan supaya nafsu setan dalam diri kami tidak mempengaruhi lebih jauh.
“Maaf Mbak, Aku gak tega.” Kataku.
Dewi menatapku terdiam. Ia membelai pipiku. “Sekilas kamu mirip Ario Bayu, tapi lebih mirip seperti Iqbal sih.”
Aku menepis tangannya. Kami pun membetulkan posisi duduk kami. Ia merapikan dasternya kemudian berdiri. “Aku tidur dulu Joe.” Dewi berjalan melewatiku. Ia menaiki tangga. Kuperhatikan langkahnya ketika menaiki tangga, ketika sampai di pertengahan tangga ia memalingkan wajahnya kebawah melempar senyum manisnya kepadaku, kemudian melanjutkan lagi menaiki tangga.
Aku heran dengan arti senyumnya itu. Mungkin maksudnya supaya aku menyusulnya menuju kamarnya dan memperkosanya habis-habisan. Aku menyandarkan diri ke sofa kembali menikmati acara televisi.
****
Jam 6.30 ketika wekerku berdering dari handphone ku. Sebenarnya lupa kumatikan karena biasanya kunyalakan pada hari kuliah. Aku sedang libur semester jadi aku bisa santai.
Aku bangun beranjak dari tempat tidur karena kepengen kencing. Masih mengenakan celana pendek yang kupakai tidur. Ruang makan terlihat kosong. Aku hendak membuka pintu kamar mandi namun kaget ketika tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Aku meloncat kebelakang, Kulihat tante Dewi keluar dari dalam kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melingkari tubuhnya saja.
“Pagi Joe, maaf mengagetkan. Shower kamar mandi di atas bocor, jadi kupakai yang dibawah. Silahkan”
Dewi melewatiku dengan cuek seakan sudah terbiasa dan tidak terjadi apa-apa. Aku segera masuk kamar mandi untuk pipis.
Sebenarnya melihat tanteku ku hanya berbalut handuk membuat nafsuku bangkit. Mengingat kejadian semalam. Aku heran bagaimana jika tadi tante dengan sengaja memancingku? Ah tidak mungkin, mana tau tante kalau aku baru bangun tidur. Kalau bukan tanteku, mungkin saja semalam sudah kutiduri wanita itu. Kalau itu adalah Sherly pacarku atau Dina teman kampusku, sudah pasti tadi malam sudah nambah sampai 5 kali. Mungkin pagi ini lanjut ronde ke 4. Sebenarnya baru 2 kali aku main dengan perempuan, dengan pacarku pun tidak pernah paling hanya petting dan blow job. Main dengan perempuan itupun dengan pelacur dan ditraktir Ricky teman baikku yang kaya raya.
Aku mengelap penisku yang besar, setelah kencing. Walaupun tidak ngaceng ukuran penisku sudah 13 cm dan kalau tegang bisa sampai 21 cm, dengan lingkar batang 4 cm dengan kepalanya yang berdiameter 5cm. Sherly pacarku sering memuji penisku ketika melakukan blow job. Penisku hanya muat kepalanya saja di mulut kekasihku yang mungil itu, jadi selama blow job kadang-kadang sherly hanya mengocok sambil menjilat batangku seperti makan es krim. sayangnya dia tidak mau penetrasi ke vaginanya karena takut hamil sekalipun aku menawarkan untuk menggunakan kondom.
Setelah kembali ke kamar aku memakai pakaian training. Aku menjumpai tanteku yang sudah berada di dapur. Tante Dewi memakai baju daster terusan ketat berwarna putih sampai ke betisnya. Sehingga lekuk tubuhnya yang bagus dan indah terlihat jelas dari belakang ketika aku menghampirinya.
“Mbak, aku mau jalan-jalan dulu.” Kataku pamit.
“oh silahkan, jangan lama-lama ya. Mbak lagi masak sarapan pagi nih.” Tante Dewi berbicara hanya menolehkan mukanya karena tangannya tampak sibuk mengupas bawang.
****
Aku berjalan-jalan ke belakang rumah melalui pintu dari dapur. Halaman belakang rumah ini luas dan ditumbuhi tanaman jagung dan umbi-umbian. Aku melintasi jalan setapak diantara pepohonan di kiri dan kanan. Aku berhati-hati ketika menuruni ujung jalan setapak yang curam yang menuju ke sawah. Tidak jauh kulihat sebuah sungai kecil yang bening airnya membatasi antara kebun dan sawah.
Padi-padi disawah tampak masih muda belum siap panen. Kulihat pagar kawat di sebelah utara yang melintang dari rumah Om sampai ke ujung bukit yang terletak jauh di ujung sebelah timur kemudian pagar itu melingkar kembali ke rumah Om aku. Kira-kira 5-8 hektar luasnya dihitung dari, rumah, sawah dan kebun. Kuperhatikan di ujung bukit tampak sebuah bangunan kecil seperti lumbung.
Kemudian aku membalikkan badan hendak kembali ke rumah pamanku. Aku kembali ke rumah paman hendak menjelajahi area di sekitar rumah tetangga, pikirku.Aku menaiki jalan setapak di depanku yang menuju ke kebun halaman belakang rumah paman. Langkahku terhenti ketika kulihat Dewi berdiri di hadapanku ketika aku sampai di kebun. Ia berdiri dengan memegang golok hitam berukuran sedang di tangan kanannya. Kedua rambutnya tergerai lepas ke depan. Sorot mata dan raut wajahnya tampak dingin.
"Ja..jalan lihat sawah." aku gugup, karena kaget melihat wanita yang tiba-tiba muncul dihadapanku.
Dewi menyunggingkan senyum manisnya, dengan tatapan wajah seperti seorang psikopat. Ia memutar sedikit badannya sambil mengangkat tangannya yang memeganng golok. Dengan cepat ia menebas. Aku kaget, segera menghindar kebelakang.
Ternyata Dewi hanya memotong batang pohon singkong yang ada di depan sebelah kanannya. Ia kemudian berjongkok di bawah pohon yang di tebangnya tadi. Menggunakan golok, ia mencangkul tanah di sekitar pohon tersebut.
Aku bernafas lega kupikir perempuan ini benar psikopat yang hendak menyerangku dan memotong-motong tubuhku dengan golok di tangannya. Kuperhatikan sejenak Dewi yang sedang menggali tanah menggunakan goloknya, kemudian menancapkan goloknya. Ia berdiri sambil menarik batang singkong itu.
"Tolong bantu aku cabutin donk, keras banget nih." Kata Dewi sambil menoleh kepadaku.
"Sini biar aku saja." Kataku mendekatinya.
"Terima kasih." kata Dewi sambil melangkah mundur.
Aku menarik pohon singkong itu. Setelah tercabut dari dalam tanah, kulihat ternyata besar sekali umbinya. Pantas saja berat, kataku dalam hati.
"Besar ya, Setelah di potong dari batangnya nanti kamu tancapkan lagi batangnya di tanah itu, biar nanti tumbuh lagi." Dewi mengajariku.
Aku mencabut golok yang masih menancap di tanah. Kemudian memotong batang singkong memisahkan dari umbinya. dan kemudian merapikan tanah dan menancapkan batang yang berukuran sekitar 30 senti itu kembali ke tanah.
**************
Selesai makan pagi yaitu nasi goreng dan ubi rebus,masakan tanteku, yang rasanya enak sekali. Bahkan nasi goreng langgananku kalah nikmat. Hebat sekali Om Iqbal memilih istri.
“Memang kamu benar-benar titisan Iqbal.” Kata tanteku sembari mengambil kursi dan duduk berhadapan denganku. Mungkin ia begitu karena melihatku melahap hampir 2 piring nasi goreng.
“Om Iqbal senang dengan nasi goreng.’ Kata tanteku.
Dihadapanku dapat kulihat belahan buah dada tante Dewi yang menyembul dari balik daster ketatnya. Buah dada yang putih indah dan besar. Kulihat sekilas tadi perut tante yang rata dan pinggangnya yang kecil kontras dengan payudaranya.
Tiba-tiba timbul hasratku. Aku berusaha menahan godaan rayuan tanteku. Mungkin kalau setelah makan aku angkat kaki dari rumah ini bisa menepis godaan maut tante Dewi. Setidaknya Cuma bisa jadi bahan masturbasi di rumah.
Masturbasi? Goblok banget aku ini. Ada janda cantik dan seksi kesepian di depan mata yang sedang membutuhkan seks, kenapa harus masturbasi? Peluk dan cium saja, telanjangi, sodok dengan penis, dan semprotkan air mani di vaginanya, toh juga gak bakal hamil karena sudah steril. Ngapain pakai tangan?, Setan berbisik di telingaku.
Tiba-tiba, seorang perempuan masuk rumah dari arah dapur. Nafas perempuan itu ngos-ngosan.
“Tolong Bu, Pak Darno jatuh dari tangga di lumbung.” Kata perempuan itu.
“Hah. Si udin ada nggak?” kata tante.
“Udin kan lagi sakit tipes.” Kata perempuan itu polos.
“Joe, kamu bisa menyetir mobil?” kata tante kepadaku.
“Bisa, kenapa?”
“Kamu bisa tolong Mbak Siti ini antar pak Darno pakai mobil.” Kata Tante. “Sebentar aku ambil kuncinya. Mobinya ada di garasi.”
Akhirnya aku menyantarkan orang yang kecelakaan itu ke rumah sakit di dekat situ kira-kira setengah jam perjalanan dengan mobil Avanza milik tanteku. Menunggu operasi karena lukanya sangat parah. Tante sendiri tidak ikut karena harus jaga rumah. Jadilah hanya aku ,dua orang pria muda dan wanita bernama Siti ini. Aku pulang kembali ke rumah paman ketika hari sudah malam sekitar jam 7.
Wah gak jadi lagi aku pulang, kacau nih. Aku berdoa dalam hati semoga tanteku tidak menggodaku lagi. Aku menutup pintu garasi dan memasuki rumah. Kulihat tante Dewi sedang di depan televisi masih mengenakan pakaian daster gombrongnya yang semalam. Syukurlah tidak pakai yang ketat, kataku dalam hati.
“Gimana joe?” katanya ketika aku menyerahkan kunci mobil.
“Sudah di gibs dan dikasih pen. Sudah langsung pulang kog.” Kataku.
“Kasian pak Darno. Dia itu orang kepercayaan Iqbal dari muda dulu, dan yang mengurus semua tanahnya ini. Kamu mandi dulu gih sana.” Kata tante, nadanya biasa.
0 Response to "Tante Dewi Binal"
Post a Comment